CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.513.000   -1.000   -0,07%
  • USD/IDR 15.934   11,00   0,07%
  • IDX 7.309   113,25   1,57%
  • KOMPAS100 1.119   20,02   1,82%
  • LQ45 883   13,48   1,55%
  • ISSI 223   2,73   1,24%
  • IDX30 451   6,51   1,46%
  • IDXHIDIV20 541   6,39   1,19%
  • IDX80 128   1,96   1,56%
  • IDXV30 130   1,50   1,17%
  • IDXQ30 150   1,90   1,29%

Trump Ancam Negara yang Gencar Dedolarisasi, Ekonom: Penggunaan Dolar AS Marak


Selasa, 03 Desember 2024 / 14:50 WIB
Trump Ancam Negara yang Gencar Dedolarisasi, Ekonom: Penggunaan Dolar AS Marak
ILUSTRASI. Presiden AS Donald Trump mengancam mengenakan tarif 100% kepada negara-negara yang gencar lakukan dedolarisasi


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif 100% kepada negara-negara yang gencar melakukan dedolarisasi.

Untuk diketahui, dedolarisasi merupakan sebuah upaya untuk memutus ketergantungan dengan dolar AS dalam transaksi perdagangan internasional. Lantas apakah kebijakan tersebut akan berpengaruh ke Indonesia?

Staf Bidang Ekonomi, Industri, dan Global Markets dari Bank Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menilai, secara umum saat ini penggunaan mata uang dolar AS dalam transaksi perdagangan internasional masih sebesar 75%. Kemudian,sekitar 50% cadangan devisa masih didominasi oleh dolar AS di berbagai negara.

Untuk Indonesia sendiri, saat ini Indonesia memang sudah memulai mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS melalui Local Currency Settlement (LCS), seperti dengan Thailand, Malaysia, dan China.

Baca Juga: Pemerintah Bakal Manfaatkan GSP untuk Dapat Pembebasan Bea Masuk dari AS

“Namun (LCS) ini memang sudah dilakukan. Tapi kelihatannya belum masif, dan memang kalau dari Indonesia masih dominan menggunakan dolar jadi seharusnya kita tidak mendapatkan kekhawatiran yang berlebih,” tutur Myrdal kepada Kontan, Selasa (3/12).

Dengan penggunaan dolar AS yang masih dominan dalam transaksi perdagangan, Ia optimistis barang-barang yang dikirim dari Tanah Air ke AS tidak akan dikenakan tarif yang agresif. Hal ini juga mengingat barang yang di ekspor merupakan barang yang memang dibutuhkan oleh masyarakat di negara tersebut.

Misalnya hasil olahan kelapa sawit, hasil olahan karet untuk ban, lalu juga barang-barang maritim atau produk-produk perikanan.

“Sehingga kita tidak perlu khawatir terkait dengan pengenaan tarif yang bakal drastis dilakukan oleh pemerintah AS ke Indonesia,” ungkapnya.

Meski begitu Myrdal bilang pemerintah tetap perlu hati-hati dan menyiapkan antisipasi. Misalnya melakukan negosiasi atau diplomasi baik itu pemerintah AS terkait kebijakan tarif tersebut, ataupun diplomasi dengan negara-negara yang menjadi tujuan ekspor Indonesia, seperti negara ASEAN, India, China ataupun Pakistan, serta Uni Eropa.

Tak lupa, pemerintah juga diharapkan bisa melakukan negosiasi dengan World Trade Organization atau organisasi perdagangan dunia agar terhindari dari pengenaan tarif masif tersebut.

Baca Juga: Pemerintah Bakal Manfaatkan GSP untuk Dapat Pembebasan Bea Masuk dari AS

Di samping itu, Myrdal juga menilai, mendorong kebijakan hilirisasi juga bisa dilakukan pemerintah untuk menghadapi tren perdagangan internasional kedepan yang nampaknya akan menjadi tantangan tersendiri bila terjadi proteksionisme.

Lebih lanjut, Myrdal menambahkan, selama The Fed masih akan menurunkan suku bunganya tahun depan sekitar 50 basis poin (bps), kondisi nilai tukar rupiah masih berpotensi menguat ke level Rp 15.187 per dolar AS.

Selanjutnya: Harga Ikan Bandeng dan Cabai Merah Keriting Naik di Kalimantan Utara, Selasa (3/12)

Menarik Dibaca: Tips Mencegah Microsleep Saat Berkendara Jarak Jauh di Liburan Akhir Tahun

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×