kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tren perkara PKPU meningkat di tengah pandemi Covid-19


Rabu, 26 Agustus 2020 / 17:47 WIB
Tren perkara PKPU meningkat di tengah pandemi Covid-19
ILUSTRASI. Hakim tunggal I Wayan Merta mengetuk palu usai membacakan putusan sidang praperadilan Jessica Kumala Wongso yang menjadi tersangka dugaan pembunuhan terhadap Wayan Mirna Salihin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Selasa (1/3). Pengadilan Negeri


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Praktisi Hukum sekaligus Advokat dari kantor Frans & Setiawan Law Office, Hendra Setiawan Boen memprediksi perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan kepailitan dapat meningkat.

"Kemungkinan besar perkara PKPU dan kepailitan akan semakin meningkat tajam dan ini berkorelasi dengan adanya pandemi Covid-19," kata Hendra kepada Kontan.co.id, Rabu (26/8).

Hendra mengatakan, krisis perusahaan yang menyebabkan PKPU tidak hanya menimpa perusahaan kecil. Akan tetapi juga bisa menimpa perusahaan besar. Hal ini karena aktivitas bisnis perusahaan tidak bisa berjalan normal. Sekalipun pemerintah telah berusaha melonggarkan PSBB agar roda ekonomi dapat bergerak.

Baca Juga: Tahun ini, Forza Land (FORZ) pilih fokus selesaikan kewajiban homologasi PKPU

"Yang menjadi masalah adalah kita berhadapan dengan pandemi dan cukup banyak perusahaan pada akhirnya harus menghentikan sementara usaha mereka karena karyawan mereka ditemukan positif Covid-19 sehingga lock-down," terang dia.

Hendra menyebut, dalam kondisi normal meningkatkan konsumsi adalah salah satu cara untuk menggerakkan ekonomi atau menjaga pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, saat ini Indonesia dan dunia berhadapan dengan pandemi global.

Ia mengatakan, di tengah ketidakpastian masyarakat harus menabung sehingga konsumsi otomatis berkurang. Sementara anggaran pemerintah sendiri terbatas, baik untuk konsumsi atau memberikan stimulus kepada masyarakat.

Berkaca pada krisis terdahulu, Hendra menyebut, saat hyper inflasi tahun 1966 atau krisis moneter 1997-1998, Indonesia dibantu oleh negara-negara luar sehingga bisa pulih dan ekonomi berakselerasi dengan cepat.

Namun berbeda dengan sekarang, karena pandemi Covid-19 negara-negara luar juga terkena imbasnya dan mengalami masalah resesi di negara mereka sendiri. Tercatat, saat ini saja ada 22 negara mengalami resesi dan kemungkinan akan terus bertambah.

Oleh karena itu, Hendra menilai untuk mengantisipasi efek ke berbagai sektor termasuk peningkatan PKPU, pemerintah harus bisa segera menangani pandemi covid-19.

"Tidak ada cara lain untuk menaikkan kembali ekonomi selain menyelesaikan masalah pandemi covid-19 secara tuntas," kata Hendra.

Bobby R Manalu, pengamat dan praktisi hukum perdata PKPU/Kepailitan yang juga Pengacara dari Kantor Hukum Setiawan Siregar Manalu Partnership (SSMP) mengatakan, PKPU merupakan salah satu opsi hukum yang bisa diambil pengusaha untuk bertahan.

Selain itu, debitur demi hukum diberikan kesempatan menunda pembayaran kepada seluruh krediturnya. PKPU juga menghindarkan potensi konflik tambahan antara debitur dengan krediturnya. Lebih sederhana daripada opsi memaksakan sepihak keberlakuan kondisi force majeure.

Baca Juga: Masuk PKPU, utang PT Armidian Karyatama Tbk (ARMY) Rp 40 miliar

"Restrukturisasi melalui PKPU lebih efisien karena debitur tak perlu bernegosiasi satu persatu dengan krediturnya," ujar Bobby.

Mengutip data dari sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) dari empat pengadilan niaga (PN) yakni PN Jakarta Pusat, PN Medan, PN Semarang dan PN Surabaya tren kasus PKPU tercatat meningkat.

Tercatat selama bulan Agustus saja terdapat 35 perkara baru PKPU dan Kepailitan di PN Jakarta Pusat. 11 perkara baru PKPU dan Kepailitan di PN Semarang, 8 perkara baru PKPU dan Kepailitan di PN Surabaya serta 2 perkara baru PKPU di PN Medan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×