Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia menargetkan penurunan emisi hingga 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,2% dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Langkah ini sebagai bagian dari upaya mencapai target emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih awal.
Transportasi berkelanjutan, khususnya elektrifikasi kendaraan, merupakan salah satu strategi penting untuk mencapai target tersebut. Tetapi kendaraan listrik (EV) saat ini masih di bawah 1% dari total populasi kendaraan nasional.
Untuk mempercepat transisi dan memastikan dampaknya signifikan terhadap penurunan emisi, elektrifikasi perlu dimulai dari sektor transportasi publik. Khususnya armada bus perkotaan yang dapat memberikan efek pengganda terhadap pengurangan emisi dan peningkatan kualitas layanan transportasi.
Studi Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) yang didukung oleh ViriyaENB menunjukkan bahwa elektrifikasi armada bus perkotaan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 66,7% pada tahun 2040. Sekaligus menghemat subsidi transportasi hingga 30%.
Baca Juga: ASEAN, Jepang dan UNDP Luncurkan Blue Carbon and Finance Profiling Project
“Transisi ke bus listrik bukan hanya soal mengganti teknologi, tapi membuka peluang kota-kota di Indonesia menghadirkan layanan transportasi publik yang lebih efisien, bersih, dan terjangkau. Langkah ini juga dapat menciptakan lapangan kerja hijau dan memperkuat rantai nilai industri transportasi bersih,” terang Gonggomtua Sitanggang, Direktur Asia Tenggara ITDP Indonesia, dalam rilis ke Kontan.co.id, Kamis (6/11).
Selain menyoroti transportasi publik, elektrifikasi sektor logistik perkotaan yang berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi hijau. Menurut data Statista (2024), pasar logistik Indonesia diproyeksikan meningkat 45,6% hingga 2030. Menjadikannya peluang besar bagi sektor swasta untuk ikut berkontribusi dalam transisi energi bersih.
Direktur Eksekutif ViriyaENB, Suzanty Sitorus mengatakan, logistik adalah urat nadi pergerakan barang di kota. Saat sektor ini ikut bertransisi ke energi bersih. "Kita tidak hanya menurunkan emisi, tapi juga membuka peluang kerja hijau, menggerakkan ekonomi lokal, dan mewujudkan kota yang lebih sehat," ujar Suzanty.
Baca Juga: Jepang Siapkan US$ 500 Juta untuk Dukung Proyek Nol Emisi ASEAN, RI Jadi Prioritas
Sejumlah survei beberapa lembaga pemerhati konsumen menemukan, infrastruktur pengisian daya masih menjadi hambatan utama masyarakat beralih ke kendaraan listrik. Studi ITDP (2025) juga menunjukkan bahwa biaya pengisian daya kendaraan listrik di Indonesia tergolong murah secara global.
Artinya, tantangan dari adopsi kendaraan listrik ini bukan karena faktor tarif pengisian daya listrik. Tetapi keterbatasan akses terhadap infrastruktur—baik stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) maupun fasilitas pengisian daya di rumah (home charging).
Untuk home charging, tantangan utama terletak prosedur menaikkan daya listrik rumah dan instalasi sarana pengisian daya. Sehingga masih menjadi beban bagi pengguna dan membutuhkan intervensi kebijakan agar lebih aksesibel. Sementara itu, pada sisi public charging, butuh insentif bagi pelaku industri agar pembangunan SPKLU dapat berkembang lebih cepat dan luas.
Selanjutnya: Banyak Tol Sepi, Perencanaan Tak Realistis Dinilai Salah Satu Penyebabnya
Menarik Dibaca: Tanaman Herbal untuk Obat Sakit Perut, Redakan Nyeri dengan Pengobatan Rumahan!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













