kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.333.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Timbang lagi pemisahan Ditjen Pajak


Senin, 13 Oktober 2014 / 09:40 WIB
Timbang lagi pemisahan Ditjen Pajak
ILUSTRASI. Pabrik?pengolahan kelapa sawit PT Menthobi Karyatama Raya Tbk (MKTR).


Reporter: Dikky Setiawan, Jane Aprilyani | Editor: Uji Agung Santosa

NUSA DUA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) kembali mengingatkan pemerintahan baru mendatang untuk tidak memisahkan kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) di luar koordinasi Menteri Keuangan (Menkeu).  

Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, Wakil Menteri Keuangan menegaskan, pembentukan otoritas pajak terpisah dari Kemkeu seperti rencana pemerintah baru, tak menjamin peningkatan penerimaan pajak. Pasalnya, seretnya penerimaan pajak selama ini lebih disebabkan oleh tidak adanya fleksibilitas dan kemampuan Ditjen Pajak mengelola organisasinya sendiri. 

Contoh, ketatnya aturan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kempan RB) bagi Ditjen Pajak dalam merekrut pegawai. Selama ini, kata Bambang, untuk menggenjot penerimaan, Ditjen Pajak kekurangan pegawai. 

Namun, Ditjen Pajak tidak memiliki fleksibilitas dalam merekrut pegawai yang dibutuhkan. "Kalau Ditjen Pajak butuh tambahan 5.000 pegawai, harusnya tambah 5.000 orang. Jangan menunggu persetujuan Kempan dulu. Kalau pun dikasih, tapi jumlahnya hanya 3.000 orang," kata Bambang di sela-sela acara International Workshop and Conference on Growth Strategies for A Rising Indonesia, Nusa Dua, Bali, Jumat (10/10).

Fleksibel dan bergigi

Menurut Bambang, bila Ditjen Pajak masih diikat aturan Kempan RB yang terlalu rumit, sampai kapan pun penerimaannya tidak maju. "Bahkan, jika ditjen pajak sudah menjadi badan tersendiri, tapi tetap ikut peraturan Kempan, bakal sama hasilnya," imbuh dia.

Lagi pula, pemerintah Jokowi-JK butuh waktu dua tahun untuk mengubah undang-undang (UU). Soalnya, payung hukum otoritas pajak adalah UU Pajak. Di dalam UU Pajak telah dijelaskan, bahwa otoritas pengumpul pajak negara adalah Ditjen Pajak. 

Yang paling penting, apapun bentuknya, institusi pengumpul pajak harus di bawah koordinasi Menkeu. Karena, Menkeu yang membuat kebijakan fiskal dan kebijakan pajak (tax policy) untuk menentukan belanja negara, menyusun penerimaan negara dan mengumpulkannya. 

Jangan sampai, kata Bambang, tax policy dan tax service agency satu atap. Yang benar adalah menteri keuangan tax policy dan badannya tax service agency. "Kalau namanya badan penerimaan juga kurang tepat, karena kesannya policy juga ikut masuk. Lebih baik namanya Badan Administrasi Penerimaan atau Badan Administrasi Perpajakan," kata Bambang.

Itu sebabnya, di awal masa pemerintahannya, Jokowi-JK diharapkan mempertahankan skema ditjen sebagai otoritas pajak. Tapi, Ditjen Pajak harus diperkuat dengan memberikan fleksibiltas dan otoritas yang lebih besar. Jokowi sebagai presiden cukup menerbitkan Keputusan Presiden sebagai payung hukum pemberian fleksibilitas tersebut.

Melalui Keppres, presiden bisa memberikan kewenangan bagi dirjen pajak untuk merekrut pegawai, membuat remunerasi dan struktur organisasi yang berbeda. Dengan demikian, ditjen pajak tak lagi harus mengikuti aturan baku Kempan dalam merekrut pegawai dan bukan sebaliknya. 

Pengamat Pajak Yustinus Prastowo menilai, tidak efektifnya ditjen pajak dalam meningkatkan penerimaan negara disebabkan jebakan birokrasi dan politik. Beban masa lalu yang menjadikan banyak pejabat pajak tersandera kedua faktor itu, yang akhirnya melemahkan tugas dan fungsi ditjen pajak sebagai otoritas penerimaan negara. 

Sebagai jalan keluar, Yustinus setuju jika penerimaan pajak dilakukan oleh sebuah badan di luar Kemkeu. Badan pajak itu kedudukannya harus seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bukan seperti BPKP. Intinya, kata dia, ada tiga kewenangan yang dimiliki badan tersebut, yakni bujeting, SDM, dan otoritas yang jelas.

Menurut Yustinus, desain struktur pimpinan (komisioner) organisasinya harus mewakili lima unsur yang mewakili stakeholders, yakni menteri keuangan, wakil politik, asosiasi pengusaha, masyarakat atau civil society dan profesional. "Jadi, secara teknis, kelembagaan badan pajak ini akan efektif mengatasi jebakan birokrasi dan politik karena representatif," kata dia.

Sebelumnya, Andi Widjajanto, Deputi Tim Transisi mengatakan, ada dua opsi lembaga yang akan dibentuk untuk menggeber penerimaan negara. Pertama, Badan Otoritas Pajak. Badan ini rencananya akan dipisah dari Kemkeu dan hanya akan diberikan tugas menghimpun pendapatan negara dari sektor pajak. 

Kedua, Badan Penerimaan Negara. Badan ini akan ditugaskan pemerintah baru untuk menghimpun penerimaan negara dari sektor pajak, bea cukai, pajak kendaraan bermotor dan penerimaan negara bukan pajak.                             

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×