Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Optimisme pemerintah bahwa pertumbuhan ekonomi di akhir 2019 mencapai target di level 5,08% tampaknya tidak mudah. Apalagi kalau pemerintah masih menjadikan investasi sebagai pendorongnya.
Ekonom Institute for Development of Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, pada kuartal terakhir di 2019, tren investasi akan melambat seiring naiknya risiko resesi global dan berlanjutnya perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China.
Baca Juga: Pemerintah akui perlambatan ekonomi global akan berdampak terhadap Indonesia
Menurut Bhima, tekanan konsumsi dalam negeri juga membuat investor menunda realisasi investasinya. Dus, investasi langsung belum bisa diandalkan untuk dorong perekonomian. Apalagi jika melihat laju investasi apda kuartal III-2019 secara tahunan sebesar 4,21% yang terbilang rendah.
Meski demikian, Bhima menilai pemerintah sekiranya perlu menggelontorkan stimulus untuk mendongkrak investasi. Salah satu caranya adalah, membantu menurunkan biaya produksi, misalnya bantuan harga gas murah industri diperbesar, dan diskon tarif listrik untuk sektor padat karya dinaikkan.
“Stabilitas makro ekonomi harus dijaga, kurs rupiah, inflasi maupun current account deficit (CAD). Kemudian secara struktural stagnannya peringkat kemudahan investasi di level 70 dari laporan World Bandk perlu dievaluasi,” kata Bhima kepada Kontan.co.id, Rabu (6/11).
Sementara itu, Ekonom Maybank Kim Eng Sekuritas Luthfi Ridho menilai, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,18% pada kuartal IV-2019 merupakan tantangan bagi pemerintah. Meskupun begitu, dia memprediksi pertumbuhan ekonomi sepanjang Oktober-Desember 2019 bakal stagnan 5%.
Baca Juga: Pemerintah diminta membuat regulasi soal struktur industri perbankan
Agar mencapai target, pemerintah sebaiknya fokus terhadap kebijakan. Dari sisi investasi, pemerintah perlu menarik investasi langsung atau foregn direct investment (FDI) sebesar-besarnya.
Di saat yg bersamaan memberikan stimulus fiskal berupa keringanan pajak dan bantuan sosial. Sebab dari sisi moneter, saat ini situasinya sudah mendukung seperti rupiah yang stabil dan suku bunga yang rendah.
Selain itu, sektor yang masih menggairahkan investasi adalah manufaktur terutama yang terkait pengolahan hasil tambang antara lain smelter nikel, tembaga, dan sebagainya. Dari sektor konsumsi yang bakal moncer adalah industri di bidan mie instan dan rokok.
Baca Juga: Tips sukses dari Miliarder Ray Dalio pendiri hedge fund terbesar di dunia
“Karena di saat situasi susah, orang cenderung downgrade makanan dan merokok. Cukai rokok yang baru pun akan implementasi tahun depan. Jadi masih ada sekitar tiga bulan untuk rokok,” kata Luthfi kepada Kontan.co.id, Rabu (6/11).
Sementara, Bhima menganggap sektor yang ada harapan sebagian besar berasal dari jasa restoran, jasa transportasi, pergudangan, listrik air gas. Untuk manufaktur investasi di sektor pakaian jadi, dan industri makanan minuman serta industri barang logam non-mesin.
Baca Juga: Mengapa Elon Musk mengatakan liburan akan membunuhmu?
Baca Juga: Jeff Bezos akan membayar pajak Rp 91 triliun per tahun bila Warren jadi Presiden AS
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News