kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.508.000   10.000   0,67%
  • USD/IDR 15.930   -61,00   -0,38%
  • IDX 7.141   -39,42   -0,55%
  • KOMPAS100 1.095   -7,91   -0,72%
  • LQ45 866   -8,90   -1,02%
  • ISSI 220   0,44   0,20%
  • IDX30 443   -4,74   -1,06%
  • IDXHIDIV20 534   -3,94   -0,73%
  • IDX80 126   -0,93   -0,74%
  • IDXV30 134   -0,98   -0,72%
  • IDXQ30 148   -1,09   -0,73%

Terlalu Kecil, Ekonom Menilai Bansos Rp 24,17 Triliun Tak Mampu Redam Tekanan Inflasi


Selasa, 30 Agustus 2022 / 06:30 WIB
Terlalu Kecil, Ekonom Menilai Bansos Rp 24,17 Triliun Tak Mampu Redam Tekanan Inflasi


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan menggelontorkan bantuan sosial (bansos) dengan total Rp 24,17 triliun kepada masyarakat, sebagai pengalihan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan, jumlah bantuan yang diberikan pemerintah relatif kecil. Sehingga, menurutnya bantuan tersebut tidak bisa meredam tingginya inflasi.

“Tambahan bansos itu tidak akan berdampak pada penurunan inflasi. Jadi kalau harga BBM dinaikkan pasti akan berdampak ke inflasi. Bansos juga tidak bisa mengurangi tekanan inflasi tetapi hanya bisa membantu masyarakat yang terdampak dari inflasi tersebut,” tutur Abra kepada Kontan.co.id, Senin (29/8).

Baca Juga: Sri Mulyani: Bansos Pengalihan BBM Subsidi Rp 24,17 Triliun Dieksekusi Pekan Ini

Merujuk pada data terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi pada Juli 2022 sudah mencapai 4,94% secara tahunan. Tingkat inflasi, khususnya secara tahunan, pada bulan laporan merupakan yang tertinggi sejak Oktober 2015.

Dengan inflasi pada Juli yang tinggi, Abra khawatir ke depan inflasi akan semakin tinggi lagi terutama ditambah adanya kenaikan harga BBM, meskipun saat ini pemerintah belum memutuskan opsi yang akan dipilih.

“Inflasi ke depan bisa jauh lebih tinggi lagi jika harga BBM naik. Selain itu, inflasi juga bisa memberikan efek domino yang besar, dan juga akan berdampak ke sektor lain. Sehingga pemerintah perlu mencermati apakah bansos Rp 24,17 triliun tersebut memadai dibandingkan dampak yang timbul dari kenaikan harga BBM,” jelasnya.

Dihubungi secara terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga sepakat anggaran bansos tersebut terlalu minim. Menurutnya, pemerintah hanya fokus pada tambahan bansos untuk orang miskin atau 40% kelompok pengeluaran terbawah saja dan tidak memperhatikan kelompok lain.

Misalnya saja, kelompok kelas menengah, jumlahnya 115 juta orang juga rentan dan perlu dilindungi oleh dana kompensasi, jika bantuan tersebut ditujukan sebagai pengalihan subsidi  BBM.

“Tidak bisa berhenti pada PKH, atau BLT, tapi para pekerja yang upah minimumnya cuma naik 1% perlu dibantu dengan skema subsidi upah dengan nominal lebih besar dibanding 2020-2021,” kata Bhima.

Baca Juga: Bansos Pengalihan Subsidi BBM, Mensos Arahkan untuk Beli Kebutuhan Pokok

Selain itu, Bhima juga meminta agar pemerintah juga memberikan bantuan kepada pelaku UMKM. Misalnya subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) dinaikkan dua kali lipat, serta diberikan bantuan permodalan.

“Permasalahan berikutnya adalah seberapa cepat pencairan bansos kompensasi BBM? Kalau harga BBM naik, tapi bansos baru dihitung, belum 100% cair maka efeknya sudah bisa menurunkan konsumsi rumah tangga,” kata Bhima.

Selain itu, menurutnya penyaluran bansos juga seringkali bermasalah terkait pendataan dan kecepatan eksekusi. Misalnya saja harga BBM akan naik pada bulan September, maka bansos kompensasi idealnya akhir Agustus sudah cair semua.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×