Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Center of Reform on Economic atau CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan kesepakatan Amerika Serikat (AS) - China untuk menurunkan tarif impor (resiprokal) selama 90 hari ke depan, perlu dicermati oleh pemerintah Indonesia.
Yusuf menjelaskan, di satu sisi kesepakatan ini bisa membuka kembali kanal perdagangan AS-China yang berpotensi mendorong arus barang dan investasi secara global serta membuka peluang bagi Indonesia buat masuk ke rantai pasok.
"Namun di sisi lain, pemangkasan tarif bilateral antara dua negara besar ini dapat mempersempit ruang gerak produk Indonesia, terutama di sektor yang bersaing langsung seperti tekstil, elektronik, dan produk agrikultur. Tanpa perlakuan tarif preferensial yang setara, produk kita berisiko kalah saing dari sisi harga maupun kecepatan distribusi," ujarnya kepada Kontan, Selasa (13/5).
Baca Juga: Tarif AS-China Turun Sementara, Peluang Emas bagi Ekspor Bahan Baku Indonesia!
Sejauh ini, dalam negosiasi yang dilakukan Indonesia - AS, pemerintah telah menawarkan sejumlah inisiatif, seperti peningkatan impor dari AS, fasilitasi perusahaan AS di sektor strategis, dan kerja sama dalam mineral kritis dan ekonomi digital. Namun diantara inisiatif tersebut, menurutnya permintaan Indonesia untuk penurunan tarif terhadap 20 produk ekspor unggulan, termasuk tekstil dan garmen yang saat ini terbebani tarif hingga 47% adalah menjadi inti perjuangan dalam negosiasi ini.
"Kita berharap, tarif yang dikenakan tidak lebih tinggi dibanding negara pesaing seperti Vietnam dan Thailand, agar daya saing produk nasional tetap terjaga," ungkapnya.
Yusuf menuturkan, fokus AS tampaknya masih tertuju pada hubungan dengan China dan mitra strategis lainnya. Menurutnya, Indonesia harus memastikan agar tidak hanya menjadi pelengkap dalam agenda dagang AS, tapi mitra yang dipandang setara dan strategis.
Baca Juga: China Cabut Larangan Pengiriman Boeing Pasca 'Gencatan Senjata' Perdagangan dengan AS
Dia bilang, jika pemerintah tidak aktif dan taktis, Indonesia hanya menjadi penonton dari pemulihan dagang global sangat mungkin terjadi. Terlebih, tuntutan AS terkait regulasi domestik seperti QRIS, GPN, dan akses pasar digital perlu direspons dengan hati-hati agar tidak menggerus kedaulatan kebijakan nasional.
Di sisi domestik, lanjut Yusuf, pembentukan satuan tugas untuk mitigasi dampak PHK, deregulasi pajak, serta diversifikasi pasar ekspor adalah langkah yang konstruktif.
"Namun efektivitasnya tetap bergantung pada eksekusi di lapangan dan keberanian untuk melakukan reformasi struktural secara konsisten, khususnya dalam meningkatkan efisiensi industri padat karya yang paling terdampak oleh tarif tinggi," pungkasnya.
Selanjutnya: Pertumbuhan Pendapatan Premi Asuransi Jiwa Melambat, Begini Kata Pengamat
Menarik Dibaca: 4 Rekomendasi Cysteamine Cream yang Ampuh dan Aman, Sudah Berizin BPOM
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News