kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.884.000   -21.000   -1,10%
  • USD/IDR 16.625   -20,00   -0,12%
  • IDX 6.833   5,05   0,07%
  • KOMPAS100 987   -1,19   -0,12%
  • LQ45 765   1,61   0,21%
  • ISSI 218   -0,33   -0,15%
  • IDX30 397   1,17   0,30%
  • IDXHIDIV20 467   0,48   0,10%
  • IDX80 112   0,13   0,12%
  • IDXV30 114   0,08   0,07%
  • IDXQ30 129   0,38   0,29%

Tarif Resiprokal AS-China Turun Sementara, Indonesia Jangan Hanya Jadi Pelengkap


Selasa, 13 Mei 2025 / 19:44 WIB
Tarif Resiprokal AS-China Turun Sementara, Indonesia Jangan Hanya Jadi Pelengkap
ILUSTRASI. Ekonom Center of Reform on Economic atau CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan kesepakatan Amerika Serikat (AS) - China untuk menurunkan tarif impor (resiprokal) selama 90 hari ke depan, perlu dicermati oleh pemerintah Indonesia. REUTERS/Dado Ruvic/Illustration


Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Putri Werdiningsih

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Center of Reform on Economic atau CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan kesepakatan Amerika Serikat (AS) - China untuk menurunkan tarif impor (resiprokal) selama 90 hari ke depan, perlu dicermati oleh pemerintah Indonesia.

Yusuf menjelaskan, di satu sisi kesepakatan ini bisa membuka kembali kanal perdagangan AS-China yang berpotensi mendorong arus barang dan investasi secara global serta membuka peluang bagi Indonesia buat masuk ke rantai pasok.

"Namun di sisi lain, pemangkasan tarif bilateral antara dua negara besar ini dapat mempersempit ruang gerak produk Indonesia, terutama di sektor yang bersaing langsung seperti tekstil, elektronik, dan produk agrikultur. Tanpa perlakuan tarif preferensial yang setara, produk kita berisiko kalah saing dari sisi harga maupun kecepatan distribusi," ujarnya kepada Kontan, Selasa (13/5).

Baca Juga: Tarif AS-China Turun Sementara, Peluang Emas bagi Ekspor Bahan Baku Indonesia!

Sejauh ini, dalam negosiasi yang dilakukan Indonesia - AS, pemerintah telah menawarkan sejumlah inisiatif, seperti peningkatan impor dari AS, fasilitasi perusahaan AS di sektor strategis, dan kerja sama dalam mineral kritis dan ekonomi digital. Namun diantara inisiatif tersebut, menurutnya permintaan Indonesia untuk penurunan tarif terhadap 20 produk ekspor unggulan, termasuk tekstil dan garmen yang saat ini terbebani tarif hingga 47% adalah menjadi inti perjuangan dalam negosiasi ini.

"Kita berharap, tarif yang dikenakan tidak lebih tinggi dibanding negara pesaing seperti Vietnam dan Thailand, agar daya saing produk nasional tetap terjaga," ungkapnya.

Yusuf menuturkan, fokus AS tampaknya masih tertuju pada hubungan dengan China dan mitra strategis lainnya. Menurutnya, Indonesia harus memastikan agar tidak hanya menjadi pelengkap dalam agenda dagang AS, tapi mitra yang dipandang setara dan strategis.

Baca Juga: China Cabut Larangan Pengiriman Boeing Pasca 'Gencatan Senjata' Perdagangan dengan AS

Dia bilang, jika pemerintah tidak aktif dan taktis, Indonesia hanya menjadi penonton dari pemulihan dagang global sangat mungkin terjadi. Terlebih, tuntutan AS terkait regulasi domestik seperti QRIS, GPN, dan akses pasar digital perlu direspons dengan hati-hati agar tidak menggerus kedaulatan kebijakan nasional.

Di sisi domestik, lanjut Yusuf, pembentukan satuan tugas untuk mitigasi dampak PHK, deregulasi pajak, serta diversifikasi pasar ekspor adalah langkah yang konstruktif.

"Namun efektivitasnya tetap bergantung pada eksekusi di lapangan dan keberanian untuk melakukan reformasi struktural secara konsisten, khususnya dalam meningkatkan efisiensi industri padat karya yang paling terdampak oleh tarif tinggi," pungkasnya.

Selanjutnya: Pertumbuhan Pendapatan Premi Asuransi Jiwa Melambat, Begini Kata Pengamat

Menarik Dibaca: 4 Rekomendasi Cysteamine Cream yang Ampuh dan Aman, Sudah Berizin BPOM

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×