Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Menurut Bhima, Indonesia harus lebih agresif melobi AS dengan menggunakan pembaruan IUPK Freeport dan relaksasi ekspor bijih konsentrat tembaga yang sedang dinikmati Freeport.
"Isu Laut China Selatan sebaiknya masuk ke meja negosiasi juga untuk tekan posisi AS agar berikan tarif lebih rendah dari China," ucap dia.
"Sejauh ini ada kekhawatiran tarif Indonesia tetap lebih tinggi dari China yang sebesar 30%," tambahnya.
Kemudian yang terakhir, kata Bhima, tetap perlu diwaspadai masuknya barang impor asal China, Vietnam, dan Kamboja ke Indonesia dalam masa jeda negosiasi.
Pasalnya, pemicu PHK padat karya Indonesia bisa lebih disebabkan persaingan barang impor dibandingkan sulitnya ekspor ke pasar AS.
Tensi ekonomi dunia menurun
Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai kesepakatan tarif dagang AS-China memberikan dampak positif untuk ekonomi dunia, termasuk Indonesia.
"Ini progres bagus, tensi ekonomi dunia akan menurun. Appetite investor untuk berinvestasi akan membaik, volatilitas mata uang di dunia, termasuk rupiah, akan membaik," ujarnya kepada Kompas.com, Selasa.
"Ini bagus bagi Indonesia yang sedang membutuhkan investasi asing dan harus melakukan refinancing utang dan menerbitkan utang baru di 2025 senilai Rp 800 triliun dan Rp 650-800 triliun," tambah Wijayanto.
Menurut dia, stabilitas rupiah dapat meningkatkan kepercayaan atau confidence investor surat utang dan menurunkan suku bunga.
Tonton: Negosiasi Tarif AS-China di Jenewa Berlanjut Minggu (11/5) Ini, Belum Ada Terobosan
Selain itu, hasil tersebut juga mengindikasikan bahwa Donald Trump melunak.
Ia menilai, hal itu mungkin karena tekanan politisi Republikan yang akan menghadapi pemilu sela tahun 2026 dan para pengusaha.
"Tentunya kita berharap reciprocal tariff (tarif timbal balik) yang akan dikenakan kepada Indonesia juga berkurang," ujar Wijayanto.
"Saya berharap tarif China ke AS 30% dan dari AS ke China 10% dipermanenkan. Kemudian tarif untuk seluruh negara lain, termasuk Indonesia juga sebesar 10%," tambahnya.
Jika ini yang terjadi, kata Wijayanto, dunia akan kembali melakukan business as usual, yaitu beroperasi seperti biasa atau menjalankan aktivitas bisnis yang rutin dan standar, tanpa perubahan atau intervensi yang signifikan.
"Kemudian yang berbeda hanya dua, reputasi Trump yang jatuh, dan AS yang semakin tidak dianggap reliable oleh negara-negara lain di dunia," bebernya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tarif Impor AS-China Turun Drastis, Apa Saja Dampaknya bagi Indonesia?"
Selanjutnya: Cara Menjadi Kaya Raya di Masa Krisis dengan Jurus Robert Kiyosaki, Buru 3 Aset Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News