Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Wacana pemberian remisi untuk koruptor yang dilontarkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dianggap bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menanggapi pernyataan Menkumham, Wakil Ketua sementara KPK Johan Budi menyindir lembaganya sudah biasa dikecewakan.
"Dalam hidup ini biasalah kecewa," kata Johan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (16/3).
Menurut dia, emberian remisi untuk para terpidana kasus korupsi, mengindahkan upaya KPK melakukan pemberantasan korupsi.
"Kami minta dan berharap agar tidak dipermudah, pemberian remisi diperketat. Ini bertabrakan dengan semangat pemberantasan korupsi tapi ini domain Kumham," kata Johan.
Menurut Johan, pengetatan remisi bagi terpidana kasus luar biasa sangat memberikan efek jera. Oleh karena itu, Kementerian Hukum dan HAM diminta kembali mengkaji wacana pemberian remisi bagi koruptor itu.
Hak napi
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly tidak sepakat dengan Peraturan Pemerintah nomor 99 tahun 2012 tentang pembatasan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi tindak pidana kejahatan luar biasa. Menurut dia, seburuk-buruknya napi kasus korupsi, mereka tetap harus diberikan haknya untuk mendapat keringanan hukuman seperti narapidana kasus lain.
"Ini menjadi sangat diskriminatif ada orang yang diberikan remisi, ada yang ditahan. Padahal prinsip dasar pemberian remisi pada Undang-undang nomor 12 tahun 1995 itu hak. Jadi napi punya hak remisi, punya hak pembebasan bersyarat, punya hak pendidikan untuk mendapat pelayanan. Hak itu ada," kata Yasonna, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/3).
PP itu dinilainya justru menimbulkan diskriminasi dan bertentangan dengan undang-undang. Politisi PDI Perjuangan ini mencontohkan pelaku teror yang harus mendapat persetujuan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) apabila ingin mendapat remisi. Demikian juga terpidana korupsi dan narkoba yang harus mendapat pertimbangan dari penegak hukum. Syaratnya harus menjadi whistleblower.
Menurut Yasonna, saat seseorang sudah menjalani hukuman pidana, maka itu menjadi kewenangan Kementerian Hukum dan HAM. Konsep penahanan yang dilakukan kementeriannya, kata Yasonna, adalah melakukan pembinaan, bukan pembalasan.
"Jadi kalau sekarang orang sudah ditahan dan memperbaiki (diri) tidak ada gunanya apa-apa, kan diskriminatif," imbuh dia. (Sabrina Asril)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News