Reporter: Rika Panda | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pemerintah terus mengupayakan pengembangan energi terbarukan untuk mengatasi cadangan minyak bumi yang makin menipis. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan gas metan batubara atau coal bed methane (CBM).
Untuk itu, meski saat ini sedang berlaku penghentian sementara (moratorium) izin usaha, pemerintah tetap membolehkan penambangan CBM di hutan primer dan lahan gambut. Menurut Hadi Daryanto, Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, moratorium hutan dikecualikan untuk pangan dan geotermal.
Walau CBM mengandung batubara, karena mengandung gas metan maka diperlakukan sama seperti geotermal. Makanya, "Pengembangan CBM di hutan primer dan lahan gambut masih dibolehkan," kata Hadi di Jakarta kemarin.
Pasalnya, pengembangan CBM tidak merusak hutan dan lahan gambut. Prosesnya hanya mengambil gas metan sama seperti dengan panas bumi. Sejatinya, gas metan berbahaya jika dilepaskan, tetapi kadarnya lebih sedikit dibandingkan karbon, sehingga bisa dimanfaatkan lebih dulu untuk mengurangi potensi ledakan. Caranya, dengan bantuan air di dalam kawasan hutan.
Hadi menjelaskan, dalam penambangan batubara sering dijumpai air yang melimpah yang diikuti keluarnya gas metan. Untuk mengurangi risiko ledakan di terowongan tambang sekaligus memanfaatkan gas metan, ide CBM muncul.
Menurut Hadi, sebaran gas metan kebanyakan terdapat di kawasan hutan produksi. "Lokasi titik CBM berada di Sumatera Selatan, Kutai Barat, dan Barito (Kalimantan)," kata dia. CBM bisa menjadi bahan bakar untuk pembangkit listrik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News