Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti) menilai langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menempatkan dana Rp 200 triliun di bank-bank Himbara sebagai terobosan penting untuk mendorong pertumbuhan kredit dan investasi.
Namun, efektivitas kebijakan ini dinilai bergantung pada kekuatan permintaan kredit.
Baca Juga: Bank Swasta dapat Angin Segar dari Kucuran Dana Rp 200 Triliun Pemerintah
“Tujuan penempatan dana Rp 200 triliun di bank-bank Himbara adalah untuk mendorong pertumbuhan kredit yang bisa meningkatkan investasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Upaya ini harus diapresiasi, tetapi agar berhasil, perlu ada kebijakan yang searah dari otoritas moneter serta deregulasi di sektor riil,” ujar Piter Abdullah, Program and Policy Director Prasasti dalam keterangan resminya Rabu (24/9/2025).
Dana tersebut diumumkan pada 12 September 2025, setara 4,5% dari total simpanan perbankan nasional.
Alokasinya terdiri atas Rp55 triliun ke BRI, Mandiri, dan BNI; Rp25 triliun ke BTN; serta Rp10 triliun ke BRIS.
Biaya penempatan ditetapkan 4%, lebih rendah dari 5–7% deposito khusus sebelumnya, sehingga menurunkan funding cost dan memperkuat kapasitas intermediasi bank.
Baca Juga: Menkeu Kucurkan Rp 200 Triliun ke Bank: Cermati Risiko & Peluangnya!
Meski likuiditas perbankan relatif ample dengan rasio AL/NCD 120,25% dan AL/DPK 27,25%, permintaan kredit masih lemah. Hingga Agustus 2025, pertumbuhan kredit baru 7,56% YoY dengan NPL terjaga di bawah 3%.
Undisbursed loan mencapai Rp2.372 triliun atau 22,71% dari plafon kredit, mencerminkan minimnya realisasi pinjaman dunia usaha.
“Angka itu menunjukkan masih banyak dana kredit yang tidak digunakan. Lemahnya permintaan dipicu pemulihan ekonomi pasca-COVID yang belum penuh, ketidakpastian global akibat perang Ukraina, konflik Israel–Palestina, dan perang dagang AS. Karena itu, fokus kebijakan harus diarahkan pada pemulihan kepercayaan usaha dan peningkatan daya beli rumah tangga,” kata Piter.
Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga lima kali tahun ini, termasuk 50 bps pada September, namun pelaku usaha masih berhati-hati berekspansi dan rumah tangga enggan menambah utang.
Kondisi ini menunjukkan bahwa ketersediaan likuiditas dan penurunan bunga saja tidak cukup mendorong penyerapan kredit.
Baca Juga: Ini Efek Instan Dana Rp 200 Triliun Terhadap Likuiditas Perbankan Menurut OJK
Menurut Gundy Cahyadi, Research Director Prasasti kombinasi stimulus likuiditas dan fiskal lebih langsung dibutuhkan.
“Likuiditas bisa disediakan, tetapi tidak serta-merta membangkitkan semangat usaha. Dibutuhkan penguatan daya beli rumah tangga dan kepercayaan bisnis. Pendekatan strategis adalah mengombinasikan keringanan likuiditas dengan langkah fiskal langsung,” ujarnya.
Pemerintah sebelumnya telah meluncurkan paket kebijakan ekonomi “8+4+5” senilai Rp16,2 triliun pada 15 September 2025.
Program ini menargetkan penciptaan tiga juta lapangan kerja melalui kombinasi stimulus jangka pendek seperti bantuan beras, insentif pajak, dan padat karya, serta inisiatif jangka panjang di sektor koperasi, perkebunan, perikanan, dan akuakultur.
“Fokus paket ini pada konsumsi sekaligus produktivitas patut diapresiasi. Dorongan daya beli melalui bantuan langsung dibarengi program riil jangka panjang. Tantangannya pada implementasi. Bila konsisten, paket ini bisa menjadi katalis nyata pertumbuhan,” tambah Gundy.
Baca Juga: Komisi XI DPR Menilai Suntikan Dana Rp 200 Triliun ke Bank Himbara Jadi Beban
Ia menegaskan pentingnya kebijakan fiskal yang counter-cyclical di tengah lemahnya permintaan swasta.
“Komitmen Menteri Purbaya membentuk satuan tugas khusus untuk mempercepat belanja adalah langkah tepat. Kini yang terpenting adalah memastikan realisasi berjalan seiring janji,” tuturnya.
Selanjutnya: Manulife Aset Manajemen Indonesia Bakal Akuisisi Schroder Indonesia
Menarik Dibaca: 7 Ciri Kepribadian Otrovert yang Langka
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News