Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Dunia dalam laporannya yang berjudul International Debt Statistics 2021 menempatkan Indonesia ke dalam 10 negara dengan pendapat kecil-menengah yang memiliki utang terbanyak.
Laporan itu menyebutkan Indonesia dengan jumlah utang luar negeri sebesar US$ 402,08 miliar di tahun tahun 2019. Hal ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-7 setelah China, Brazil, India, Rusia, Meksiko, dan Turki.
Staf khusus Menteri Keuangan untuk Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin, menyatakan utang Pemerintah Indonesia dikelola dengan sangat hati-hati dan akuntabel.
“Bu Sri Mulyani dikenal prudent dalam menjaga fiskal kita, sehingga resiko yang ada masih manageable dan terjaga,” kata Masyita kepada Kontan.co.id, Kamis (15/10).
Baca Juga: Dua hal ini yang membuat utang luar negeri Indonesia membengkak pada Agustus 2020
Masyita menegaskan, dalam 4 tahun terakhir, kebijakan fiskal Indonesia diarahkan untuk mengurangi angka primary deficit. Bahkan sebenarnya sudah sangat mendekati angka positif di tahun ini, sebelum pandemi terjadi.
“Data ini adalah data utang luar negeri (ULN) total, termasuk swasta. Bukan semuanya utang Pemerintah Indonesia. ULN Pemerintah hanya 29,8% saja dari keseluruhan hutang Indonesia yang tercantum di dalam International Debt Statistics 2021 yang diterbitkan Bank Dunia. Sisanya merupakan utang swasta. Jauh jika dibandingkan dengan rerata negara sesama kategori BBB Fitch, sebesar 51,7%”, ungkap Masyita.
Masyita menambahkan, dalam hal membandingkan ULN antar negara perlu melihat nilai PDB-nya juga, Ibarat membandingkan nilai KPR, perlu disesuaikan dengan penghasilan.
“Berbanding dengan pendapatan domestik bruto (PDB) porsi hutang Indonesia hanya 35.8% per Oktober 2019. Selain itu, ULN kita juga jangka panjang membuat resiko fiskal kita untuk membayar kewajiban masih manageable,” jelas Masyita.
Baca Juga: Dua hal ini yang membuat utang luar negeri Indonesia membengkak pada Agustus 2020
Menurutnya, kebijakan ULN tidak dapat dilihat sebagai sebuah kebijakan yang berdiri sendiri. Negara yang sedang membangun memiliki nilai investasi yang lebih tinggi dari tingkat saving-nya, atau dikenal sebagai ‘saving-investment feficit’, dalam hal ini perbedaannya ditutup dengan ULN. Sepanjang returnterhadap investasi tersebut lebih tinggi dibandingkan biaya bunga, maka sebuah negara akan mampu membayar kembali.
“Untuk Indonesia sendiri, sebelum pandemi, ULN digunakan untuk membangun proyek-proyek strategis dengan tujuan untuk meningkatkan dan memeratakan pertumbuhan di seluruh pelosok. Kita perlu menutup gap infrastruktur dan mengurangi biaya logistik agar dapat meningkatkan daya saing. Hal ini pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas pertumbuhan ekonomi potensial,” terang Masyita.