Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mematok defisit anggaran pada tahun 2024 sebesar Rp 522,8 triliun atau setara 2,29% dari produk domestik bruto (PDB).
Belanja negara pada tahun 2024 diperkirakan mencapai Rp 3.304,1 triliun, di tengah harapan pendapatan negara mencapai Rp 2.781,3 triliun.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia mematok target pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar 5,2%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, secara teori, rencana anggaran yang telah disusun oleh pemerintah tersebut memang belum ideal untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi tahun depan.
Baca Juga: Telaga Kahuripan Percepat Serah Terima Unit Klaster Aluna
"Kalau ditanya, pasti ngak ideal. Namun, kami sudah bekerja sama dengan kementerian/lembaga (K/L) untuk menyusun target pembangunan yang bermanfaat bagi pertumbuhan," terang Sri Mulyani, Rabu (16/8).
Dalam hal ini, bendahara negara bilang ia akan menekankan pada jajaran pemerintah untuk membelanjakan anggaran yang diterima tiap K/L dengan bijak.
Atau dengan kata lain, jajaran pemerintah harus mengupayakan kualitas belanja sehingga tiap rupiah yang dikeluarkan, akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi.
"Yang diupayakan adalah kualitas spending. Harus lebih baik. Jadi, tiap rupiah yang kami keluarkan memberi dampak lebih baik pada ekonomi dan masyarakat," tambah Sri Mulyani.
Dengan demikian, maka ia yakin defisit yang dipatok dan alokasi belanja negara tahun depan mampu untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi dan cukup untuk mengentaskan kemiskinan maupun menekan angka stunting.
Baca Juga: Ini Tanda-Tanda Ekonomi China Tengah Mengalami Krisis
Bahkan, Sri Mulyani yakin angka yang sudah tertulis akan cukup untuk membiayai hajatan Pemilihan Umum (Pemilu), pembangunan ibu kota negara (IKN), juga belanja kesehatan dan pendidikan.
Namun dalam berbelanja pemerintah akan tetap hati-hati dengan mempertimbangkan ketidakpastian yang terjadi di dunia luar.
"Kami tetap hati-hati dengan tren inflasi global yang relatif tinggi, suku bunga yang lebih tinggi dan lebih lama dari perkiraan, serta volatilitas global lainnya," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News