Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sri Mulyani Indrawati, yang ditunjuk kembali sebagai Menteri Keuangan akan menghadapi kondisi berat di awal periode masa kerjanya di kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin.
Di tengah ketidakpastian dan pelemahan ekonomi global, kebijakan-kebijakan di sektor perekonomian dalam negeri sangat krusial untuk memastikan pertumbuhan Indonesia tetap terjaga.
Baca Juga: Kenakan kemeja putih, mantan Menkumham Yasonna Laoly tiba di Istana Kepresidenan
Sri Mulyani mengakui, salah satu alasan utama Presiden Joko Widodo menunjuknya kembali mengemban jabatan bendahara negara ialah untuk menghadapi tantangan perekonomian global yang belakangan kian menekan Indonesia.
Selain itu, juga mewujudkan sejumlah target pembangunan pemerintah di bidang sumber daya manusia, infrastruktur, dan peningkatan investasi. “Kita sudah melihat anggaran perlu dieksekusikan secara baik, baik di tingkat kementerian lembaga maupun tingkat daerah,” kata dia, Selasa (22/10).
Kecuali mengubah pola kebijakannya dalam menghadapi perlambatan ekonomi global, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menilai kinerja Sri Mulyani sebagai Menkeu pada periode selanjutnya tak akan memberi kemajuan signifikan bagi pertumbuhan.
Piter memandang, Sri Mulyani selama ini belum optimal mendorong pertumbuhan melalui kebijakan fiskal yang ekspansif. “Kita membutuhkan kebijakan counter-cyclical baik di moneter, fiskal, maupun sektor riil. Kebijakan moneter yang sudah pro-growth hendaknya diimbangi Menkeu dengan kebijakan fiskal yang penuh dengan stimulus terhadap perekonomian,” tutur Piter saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (22/10).
Baca Juga: Sofyan Djalil merapat, ini daftar calon menteri yang sudah dipanggil Jokowi
Ekspansi anggaran yang diberlakukan pemerintah selama ini, menurut Piter, masih terbilang setengah-setengah. Di satu sisi misalnya, Menkeu menerapkan kebijakan APBN ekspansif dan memberi sejumlah insentif perpajakan, tapi di sisi lain mematok target penerimaan pajak yang juga tinggi.
Piter memandang hal tersebut sebagai inkonsistensi kebijakan yang ujungnya menekan para pelaku usaha dan industri. Selain itu, rasio defisit anggaran terhadap PDB juga terlampau kecil yaitu di bawah 2% saat sebenarnya pemerintah memiliki ruang hingga maksimal 3% dari PDB sesuai aturan Undang-Undang.
“Kita diet ketat padahal kita itu kurus, butuh asupan dengan ekspansi fiskal dan melebarkan defisit anggaran setidaknya satu atau dua tahun ini dalam rangka menghadapi perekonomian global yang melambat,” tutur Piter.
Oleh karena itu, Piter berharap di awal masa jabatannya sebagai Menteri Keuangan di Kabinet Kerja Jilid II, Sri Mulyani segera menyiapkan revisi APBN 2020. Revisi tersebut untuk mengubah arah anggaran menjadi lebih ekspansif, serta memanfaatkan ruang defisit yang ada semaksimal mungkin untuk mendorong konsumsi dan investasi di dalam negeri.
Baca Juga: Pakai baju putih, mantan Menteri Perhubungan Budi Karya masuk Istana Kepresidenan
Misalnya, memperhitungkan kembali dampak pemberian insentif pajak dan menurunkan target penerimaan negara, serta melakukan efisiensi alokasi anggaran.
“Jadi persoalan insentif pajak dan strategi APBN ini harus jelas, Kalau mau longgar, ya betul-betul longgar sekalian. Jangan terlalu takut melembarkan defisit, fokus kepada pertumbuhan ekonomi” tandas Piter.
Jika tidak ada perubahan kebijakan fiskal tersebut, Piter pesimistis akan terjadi lompatan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih tinggi dalam lima tahun ke depan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi dikhawatirkan tetap berada pada level yang tak jauh-jauh dari capaian di periode pertama lalu yaitu berkisar 5%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News