kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.889   41,00   0,26%
  • IDX 7.204   63,03   0,88%
  • KOMPAS100 1.106   10,86   0,99%
  • LQ45 878   11,63   1,34%
  • ISSI 221   0,93   0,42%
  • IDX30 449   6,38   1,44%
  • IDXHIDIV20 540   5,74   1,07%
  • IDX80 127   1,43   1,14%
  • IDXV30 135   0,66   0,49%
  • IDXQ30 149   1,74   1,18%

Sri Mulyani: Ekonomi melemah, penerimaan pajak rawan shortfall


Minggu, 20 September 2020 / 18:00 WIB
Sri Mulyani: Ekonomi melemah, penerimaan pajak rawan shortfall
ILUSTRASI. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengikuti rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (7/9/2020). Rapat kerja tersebut membahas laporan dan pengesahan hasil Panitia Kerja Pembahasan RUU Pertanggungjawaban dan Pelaksana


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerimaan pajak tahun ini terpantau belum mengindikasikan pemulihan, sejalan dengan dampak pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) terhadap perekonomian. Kondisi ini, semakin mengancam penerimaan pajak tidak bisa mencapai target akhir tahun, alias shortfall.

Padahal pemerintah sudah dua kali merevisi target penerimaan pajak 2020 degan mempertimbangkan situasi ekonomi yang terpapar pandemi. Tahun ini pemerintah menargetkan pendapatan negara dari pajak sebesar Rp 1.198,82 triliun. 

Outlook penerimaan pajak itu sebagaimana dalam Perpres 72 Tahun 2020 yang mengatur Perubahan Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020. Beleid ini, merupakan perubahan kedua atas postur APBN 2020.

Baca Juga: Kemenkeu yakin penyerapan anggaran PEN bisa capai 100% hingga akhir tahun 2020

Adapun sampai dengan akhir Juli 2020, realisasi penerimaan pajak sejumlah Rp 601,91 triliun. Angka tersebut tumbuh negatif 14,67% year on year (yoy). Kontraksi tersebut semakin jauh dari proyeksi pemerintah yang hanya koreksi 10% terhadap realisasi tahun 2019. 

Pencapaian penerimaan pajak dalam tujuh bulan pertama di tahun ini pun setara 50,21% dari total target akhir tahun. Dus, dalam waktu lima bulan pemerintah perlu mengejar sisa penerimaan pajak senilai Rp 596,91 triliun.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, shortfall penerimaan pajak 2020 berpotensi terjadi. Hal ini seiring dengan kondisi ekonomi yang masih mengindikasikan ketidakpastian. 

“Kami berharap target penerimaan pajak bisa sesuai dengan Perpres 72/2020, yang kami sampaikan ada risiko untuk shortfall akibat pelemahan ekonomi yang lebih dalam,” kata Sri Mulyani beberapa waktu lalu. 

Kendati begitu, Menkeu menyampaikan pemerintah tetap berusaha menjaga penerimaan pajak capai target dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi basis pajak. Di tahun ini, pajak pertambahan nilai (PPN) atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sudah mulai diterapkan kepada enam belas perusahaan digital asing.

Baca Juga: Banyak pejabat positif Covid-19, pemerintah belum siap hadapi pandemi?

Direktur Potensi Kepatuhan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Ihsan Priyawibawa menambahkan, di periode semester II-2020 rencana strategi kantor pajak masih yakni memperluas basis, meningkatkan kepatuhan, dan melaksanakan program reformasi.

Selain itu, peningkatan kepatuhan juga dilakukan dengan meningkatkan pelayanan yang berbasis IT, yang difokuskan pada penguatan digital services, serta edukasi kepada masyarakat. Namun, ihsan bilang tahun ini pemerintah juga fokus menggunakan instrumen pajak sebagai stimulus fiskal untuk meredam dampak pandemi.

“Kami fokus untuk memastikan insentif fiskal dapat dimanfaatkan secara optimal, selain itu tetap melaksanakan aktivitas pengawasan kepatuhan dengan menyesuaikan kondisi kenormalan yg baru dengan memanfaatkan data peta kepatuhan wajib pajak,” kata Ihsan kepada Kontan.co.id, Minggu (20/9).

Anggota Komisi XI Mukhammad Misbakhun menilai, penerimaan pajak tahun ini pasti shortfall, sekalipun Covid-19 tidak pernah ada. Menurutnya shortfall penerimaan pajak sudah menjadi tren yang dipertahankan oleh pemerintah sejak 2009. 

Misbakhun menilai, pemerintah tidak bisa menangkap pergeseran subjek dan objek pajak yang berevolusi seiring dengan perkembangan zaman. Menurutnya, Kemenkeu tidak mengoptimalkan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Meski otoritas pajak sudah menetapkan dua puluh delapan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) untuk menarik, memungut, dan menyetor pajak pertambahan nilai (PPN), langkah ini dirasa tidak cukup.

Anggota Fraksi Partai Golkar itu menyampaikan, seharusnya pemerintah berani menarik pajak penghasilan (PPh) atas perusahaan digital asing. Hal ini mempertimbangkan besarnya manfaat ekonomi yang telah dihasilkan dari masyarakat Indonesia. 

Baca Juga: Pekan depan, rupiah masih menguji level Rp 15.000 per dolar AS

Kata Misbakhun, pemerintah tidak perlu menunggu konsensus terkait pajak penghasilan dari the Organization for Economic Co-opration and Development (OECD) atau G20. “Kalau situasi saat pandemi seperti ini, yang diutamakan itu agenda kepentingan kita, bukan agenda bersama,” kata Misbakhun kepada Kontan.co.id, Minggu (20/9).

Kendala ekonomi, kebijakan, dan administrasi

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengemukakan setidaknya ada tiga kendala penting dalam upaya mencapai target penerimaan pajak 2020  yaitu situasi ekonomi, kebijakan, dan administrasi. 

Bawono menilai tahun ini kondisi ekonomi merupakan sentimen paling krusial dalam menentukan realisasi penerimaan pajak. Dampak ekonomi akibat pandemi tercermin dari harga komoditas yang melemah, sehingga menyebabkan kinerja pajak sektor migas dan PPh Badan sektor pertambangan. Kemudian, sepanjang tahun ini aktivitas ekonomi menurun, hal ini berimplikasi terhadap PPN khususnya dalam negeri. 

“Sudah pasti bahwa tahun ini memang ruang gerak optimalisasi penerimaan pajak sulit untuk dilakukan. Perlambatan ekonomi secara natural mengurangi kontribusi pajak,” kata Bawono kepada Kontan.co.id, Minggu (20/9).

Baca Juga: Saat IHSG merah membara, ini yang dilakukan Lo Kheng Hong dan Eyang Ratman

Dari sisi kebijakan perpajakan,sudah pasti pemerintah memilih agar tetap ekspansif. Pajak butuh direlaksasi agar perekonomian tidak terkontraksi terlalu dalam. Sementara administrasi wajib pajak beradaptasi ke cara digital, sejalan dengan pembatasan sosial.

Sampai dengan akhir tahun 2020, DDTC memprediksi penerimaan pajak akan terkontraksi sebesar minus 10% hingga minus 14% terhadap penerimaan 2019. Artinya, shortfall penerimaan pajak bisa mencapai Rp 47,95 triliun dari target yang dicantumkan di Perpres 72/2020. “Namun demikian, besar dugaan bahwa shortfall bisa saja membesar mengingat belum kuatnya tanda-tanda pemulihan ekonomi,” kata Bawono.

Selanjutnya: Pandemi Covid-19 percepat proses digital governance di Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×