Reporter: Shifa Nur Fadila | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pemerintah era Prabowo Subianto akan mengubah subsidi energi menjadi bantuan langsung tunai (BLT) dinilai belum terbukti akan lebih tepat sasaran.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky menilai upaya menggalihkan subsidi energi ke BLT dengan asumsi BLT lebih tepat sasaran. Namun dalam berbagai kajian tidak terbukti cukup tepat sasaran. Termasuk survei BPS, dan diakui oleh pemerintah bahwa masih ada salah sasaran yang signifikan.
"Apakah wacana kebijakan ini tepat? Ada dua problem utama dari sisi pemerintah. pertama, kesulitan fiskal yang mendorong berbagai upaya dari sisi pendapatan dan pengeluaran, kedua, tetap harus ada narasi kebijakan yang teknokratis," jelas Awalil kepada Kontan, Minggu (29/9).
Menurut Awalil kesulitan fiskal yang mendorong berbagai upaya dari sisi pendapatan dan pengeluaran. Dari sisi pengeluaran, dicari apa saja yang dapat dikurangi, salah satunya yang dianggap pemerintah dapat dikurangi adalah subsidi. Jadi bukan soal tepat sasaran atau tidaknya yang menjadi pendorong utama, melainkan pengurangan belanja pemerintah. Dari sisi ini, pengalihan subsidi ke BLT bisa diatur agar total BLT pengganti subsidi lebih sedikit dibanding berbentuk subsidi.
Baca Juga: Menilik Rencana Pemerintahan Prabowo Ubah Subsidi Energi ke BLT
Selain itu, tetap harus ada narasi kebijakan yang teknokratis. Menurutnya sejak dahulu diolah bahwa yang menikmati subsidi energi paling besar justru kelas menengah dan atas, bukan kelas Bawah. Awalil mengatakan secara kajian, memang bisa ditemukan bukti pendukung. Masalahnya, pengurangan sedikit subsidi bagi rakyat bawah itu amat berarti dilihat dari sudut pandang kehidupan mereka.
"Tiap pengurangan berarti menambah beban hidupnya secara signifikan, sedangkan bagi kelas menengah dan atas yang dianggap paling menikmati subsidi energi jika dikurangi tampak tak banyak pengaruh," ujarnya.
Meski begitu dengan fenomena baru sekitar 5-6 tahun terakhir bahwa kelas menengah makin menurun jumlahnya dan rata-rata pengeluarannya, maka pengurangan subsidi itu akan menjadi persoalan serius juga. Hal itu menurut Awalil kan semakin memukul daya beli kelas menengah.
Awalil menambahkan pengalihan subsidi energi ke BLT itu mestinya menjadi kebijakan jangka menengah. Pemerintah harus mempersiapkan pendataan yang lebih baik tentang sasaran. Tidak hanya untuk konteks ini melainkan BLT keseluruhan dan bansos lainnya.
Dalam jangka pendek, terlepas dari belum tepatnya sasaran subsidi energi, belum saatnya mengalihkan ke BLT. Akan memukul kelas menengah, dan belum bisa memastikan sasaran kelas bawah terjangkau karena data selama ini belum akurat.
"Perlu reformasi keseluruhan yang mendasar dan konsisten tentang program perlindungan sosial (perlinsos). Perlinsos itu disusun lebih komprehensif, diselenggarakan secara sungguh-sungguh dan bertahap," ungkapnya.
Di sisi lain upaya memperbaiki ruang fiskal bukan dimulai dari utak-atik subsidi secara membabi buta, melainkan penajaman seluruh belanja pemerintah secara serius. Dimotivasi oleh "sense of crisis" perlu prioritas, perbaikan mendasar efektifitas dan efisisensi.
"Bukan cara mudah, hapus atau kurangi subsidi," ucap Awalil.
Baca Juga: ESDM Masih Perdalam Aturan, Rencana Pengetatan BBM Bersubsidi 1 Oktober Batal
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News