Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perindustrian (Kemprin) mendorong percepatan pembangunan kawasan industri Teluk Bintuni, Papua Barat. Langkah yang akan dilakukan melalui skema kerja sama Permerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau lazim disebut Public Private Partnership (PPP).
Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto menjelaskan bentuk skema KPBU yang dipilih dalam pengembangan kawasan industri Teluk Bintuni, antara lain adalah Design, Build, Maintain, and Transfer (DBMT).
Badan Usaha Pelaksana (BUP) di dalam proyek ini, akan bertanggung jawab untuk merancang, membangun, dan memelihara infrastruktur yang meliputi ketenagalistrikan, pengelolaan limbah dan air limbah, sistem penyediaan air minum, transportasi, serta telekomunikasi.
“Infrastruktur itu sesuai dengan spesifikasi output yang telah dipersyaratkan, serta menyerahkan aset yang dikerjasamakan kepada Penanggung Jawab Proyek Kerja sama (PJPK) setelah berakhirnya Perjanjian KPBU,” jelasnya, Senin (24/9).
BUP pun berkewajiban untuk memberikan layanan yang berasal dari infrastruktur kawasan kepada tenant sesuai dengan spesifikasi keluaran dan indikator kinerja tertentu.
“Pemerintah akan prioritaskan pembangunan infrastrukturnya, seperti pelabuhan untuk supporting kawasan industri itu sendiri. Di dalam kawasan industri juga dipastikan sudah ada izin lingkungan hidup,” imbuhnya.
Guna memastikan keberlangsungan proyek, salah satu opsi dalam struktur proyek adalah BUP berkewajiban untuk memiliki mitra yang bertanggung jawab untuk melakukan pembangunan anchor industry berupa pabrik metanol dengan kapasitas sebesar 900 kiloton per annum (KTA) dengan mendaya gunakan pasokan gas sebesar 90 MMSCFD dari BP Tangguh .
Sementara itu, Badan Layanan Umum (BLU) Kemenperin akan melakukan pengelolaan atas kawasan industri tersebut, sehingga tarif layanan yang berasal dari infrastruktur kawasan industri menjadi hak BLU Kemenperin. Sedangkan, BUP diberikan hak atas pengembalian investasi berupa pembayaran ketersediaan layanan (availability payment) dari Kemenperin sebagai PJPK.
“Kami memiliki harapan Kawasan Industri Petrokimia di Teluk Bintuni akan berkembang seperti kawasan industri petrokimia yang sudah berkembang pesat saat ini. Sebagai contoh, kawasan industri petrokimia di Bontang, Kalimantan Timur, yang merupakan klaster industri petrokimia pertama yang sudah berjalan lebih dari 30 tahun,” ungkapnya.
Hingga saat ini, telah terdapat lima industri petrokimia yang berada di kawasan Kaltim Industrial Estate (KIE) Bontang dengan menghasilkan komoditas yang beragam, antara lain amoniak, pupuk urea, metanol, dan amonium nitrat.
Menperin meyakini, kehadiran industri petrokimia di Teluk Bintuni, sebagai sektor hulu akan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku metanol dalam negeri. Selain itu, mengurangi ketergantungan impor bahan baku tersebut dan memacu pertumbuhan industri hilir lainnya yang memberikan nilai tambah lebih besar terhadap perekonomian nasional.
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Achmad Sigit Dwiwahjono menjelaskan investasi tahap pertama kawasan Bintuni membutuhkan US$ 700 juta sampai US$ 800 juta. Hanya saja sampai saat ini harga gas yang tidak feasible membuat banyak investor kurang tertarik untuk investasi.
“Oleh karena tidak feasible itu pakai proyek KPBU, serta pemerintah bisa chip in saham sampai 49% dengan konsepnya VGF(viability gap fund),” kata Sigit (24/9).
Sigit mengaku investor yang tertarik mulai dari perusahaan Jepang dan Korea. Sigit mengatakan waktu penyelesaian beauty contest akan disesuaikan trim 3 British Protoleum (BP yang harus selesai pada 2021. Sehingga sebelum waktu itu harus ada financial cost. “Jadi ada waktu bangun 2 tahun begitu gasnya keluar langsung,” paparnya
Adapun beauty contest jadi terbuka untuk semua investor. Sigit menyebut perusahaan seperti Ferrostaal dan Pupuk Indonesia misalnya telah undang untuk ikut dalam beauty contest tersebut.
Namun Kemenperin ingin Pupuk Indonesia bisa menjadi stand by investor. Dengan minimal kepemilikan saham mencapai 30%. “Yang artinya pemerintah masih disana dan kalau bisa sekalian mengelola kawasan industrinya,” paparnya.
Kemenperin mencatat, pada tahun 2017, industri kimia menjadi salah satu sektor penyumbang utama terhadap PDB sebesar 1,73% atau senilai Rp236 triliun, di mana industri petrokimia menjadi salah satu penghasil komoditas bahan baku penting untuk sektor industri lainnya. Selain itu, pertumbuhan industri kimia mencapai 3,48% dengan pertambahan nilai investasi mencapai Rp 42,2 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News