kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Simplifikasi IHT dinilai tak bisa menekan angka prevalensi perokok


Senin, 23 Agustus 2021 / 13:20 WIB
Simplifikasi IHT dinilai tak bisa menekan angka prevalensi perokok
ILUSTRASI. Rokok.


Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wacana penyederhanaan golongan (simplifikasi) dalam industri hasil tembakau (IHT) kembali mencuat dengan sejumlah argumentasi yang mendukung wacana tersebut.

Namun anggota Komisi XI DPR M. Misbakhun, menilai simplifikasi dan kontribusi IHT bersifat paradoksal. “Selalu ada pertentangan antara kelompok anti tembakau dengan kelompok yang realistis melihat bahwa IHT ini memberikan dampak kesejahteraan kepada masyarakat, mengangkat kemiskinan masyarakat,” papar dia dalam keterangannya, Senin (23/8).

Misbakhun tidak memungkiri efek buruk dari rokok, namun manfaatnya juga harus dilihat. Terhadap ekonomi, dari segi pajak dan cukai, IHT memberikan penerimaan negara hampir Rp 300 triliun. Ada pajak daerah yang dibayarkan ke pemda. “Ini harus secara nyata disampaikan, jangan hanya pembatasan rokok semata,” tegasnya.

Menaikkan cukai dengan tujuan untuk mengurangi konsumsi, baik itu membuat industri rumahan, dan menengah, itu bukan sebuah prestasi. Itu mematikan unsur ekonomi rakyat, dan yang berkembang malah industri besar. “Berbahaya bila penerimaan cukai hanya bergantung kepada 4 perusahaan,” katanya.

Baca Juga: Charoen Pokphand Indonesia (CPIN) bukukan laba ciamik di paruh pertama 2021

Soal dampak simplifikasi terhadap penerimaan negara, menurut Misbakhun, sangat jelas. Simplifikasi ini sangat mengganggu perkembangan IHT kecil untuk menjadi IHT menengah, IHT menengah menjadi besar. “IHT selalu dihadang dengan tarif cukai yang sangat memberatkan mereka. Penjualan belum mereka dapatkan namun uang penebusan cukai harus dibayar di depan,” lanjutnya.

Simplifikasi tidak akan mengurangi konsumsi, malah hanya membuat orang mengalihkan konsumsinya dari rokok bermerek jadi rokok yang lebih murah, yang boleh jadi kandungan Tar dan nikotinnya besar, kemudian tidak membayar cukai. 

Misbakhun melihat Pemerintah tidak pernah membuat pembinaan yang memadai terhadap IHT. “Yang ada malah upaya pembinasaan yang struktural melalui simplifikasi dan tekanan cukai terhadap IHT,” paprnya. 

Sementara Sulami Bahar, Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Surabaya, menilai argumentasi yang dilontarkan kelompok anti tembakau dalam menggolkan simplifikasi tidak didasarkan pada kondisi sebenarnya.

Baca Juga: Dorong ekspor hasil pertanian, MenkopUKM Teten Masduki resmikan Tani Bangga Store

Dengan adanya simplifikasi, menurut Sulami, harga rokok akan semakin tinggi karena golongan-golongan kecil dan menengah yang ada dalam struktur tarif cukai IHT akan dipaksa naik kelas. Dapat dipastikan kebanyakan pelaku IHT di golongan bawah yang dipaksa menaikkan harga tersebut tidak akan mampu bertahan. 

Selain itu, penerapan simplifikasi juga dapat menjadi bumerang, baik bagi negara maupun bagi IHT. Dengan harga yang meningkat akibat penerapan simplifiikasi, ada potensi konsumen beralih kepada produk rokok yang lebih murah termasuk rokok ilegal.  Sehingga, dampak lain yang timbul dari adanya simplifikasi ini adalah meningkatnya angka peredaran rokok ilegal.

Pabrikan kecil-menengah yang terdampak simplifikasi, kemungkinan besar akan mengalami penurunan produksi karena bersaing dengan yang lebih besar. Hal ini akan berdampak pada pekerja di perusahaan kecil-menengah tersebut. Apabila banyak pabrikan yang terdampak, maka jumlah pekerja terdampak yang kehilangan pekerjaan pun akan besar jumlahnya. Ini akan menambah beban baru bagi pemerintah dalam bentuk pengangguran.

Karena produk-produk golongan kecil-menengah mengalami kenaikan harga akibat naik golongan, besar kemungkinan, yang terjadi adalah konsumen dari produk tersebut tetap mencari rokok yang murah, sehingga kemungkinan besar konsumen tersebut beralih ke ilegal. Sehingga rokok ilegal akan mengalami kenaikan, yang akan merusak IHT dan penerimaan pemerintah.

Penyamarataan kemampuan semua produsen rokok adalah penilaian yang salah kaprah dan menyesatkan. “Bagaimana mungkin perusahaan rokok dengan produksi 1 atau 2 miliar batang dihadapkan dengan perusahaan yang berproduksi di atas 50 miliar batang,” tegas Sulami. 
Penggabungan golongan melalui simplifikasi berpotensi besar mematikan perusahaan-perusahaan yang lebih kecil. Logikanya, perusahaan-perusahaan yang lebih dominan atau menguasai pasar akan lebih diuntungkan dengan simplifikasi.

Di sisi lain Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Malang malah melangkah lebih jauh dengan mengirim surat kepada Presiden RI pekan lalu. “Kami mengeluhkan kondisi IHT saat ini yang sangat memprihatinkan,” papar Johni, Ketua Gapero Malang. 

Dalam suratnya Pemerintah diingatkan dengan kondisi pandemi Covid-19 dan penurunan kinerja IHT. “Kami meminta tarif cukai tidak naik dan tidak ada simplifikasi,” lanjutnya. Gapero Malang memberi sinyal agar Pemerintah tetap dengan kebijakan tahun 2021.

Selanjutnya: Jokowi tinjau pabrik porang, tumbuhan liar yang buat petani jadi miliarder

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×