Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - BOGOR. Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran menjadi salah satu prioritas yang diusulkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2020.
Bila RUU Penyiaran ini tetap menjadi inisiatif dari DPR, Kominfo memberikan 10 poin usulan kepada DPR.
"Harapannya 10 poin ini bisa diakomodir DPR dalam pembahasannya," tutur Direktur Penyiaran Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kominfo Geryantika Kurnia, Senin (25/11).
Baca Juga: Kominfo kembali usulkan RUU Perlindungan Data Pribadi untuk masuk Prolegnas 2020
Dari 10 poin tersebut, pertama, digitalisasi penyiaran televisi terestrial dan penetapan batas akhir penggunaan teknologi analog (analog switched off/ASO).
Geryantika mengatakan kapan waktu penggunaan teknologi analog dihentikan harus diatur dalam UU penyiaran.
Menurutnya, bila UU Penyiaran ditetapkan pada 2020, maka ASO bisa berlaku dua tahun kemudian.
"Ketika UU Penyiaran itu ditetapkan pada 2020, di 2022 itu sudah ASO," ujar Geryantika.
Kedua, penguatan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI dan RRI dengan pembentukan Radio Televisi Republik Indonesia.
Kominfo berharap, dengan adanya penguatan LPP ini, maka TVRI dan RII bisa menjadi lebih fleksibel baik dari sisi pemberitaan, anggaran dan SDM.
Ketiga, kewenangan antributif antara pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Nantinya, KPI akan lebih fleksibel dari sisi anggaran dan dari sisi SDM.
Keempat, penguatan organisasi Komisi Penyiaran Indonesia. Dengan penguatan ini, KPI akan berwenang untuk memberikan sanksi dan denda. Pasalnya, menurut Geryantika, selama ini KPI hanya memberikan sanksi tanpa memiliki kewenangan memberi denda.
"Kita usulkan agar di RUU Penyiaran ini keputusan KPI final dan banding. Jadi kalau putusannya cabut ya cabut saja, kalau keberatan, mereka lembaga penyiaran juga bisa banding ke pengadilan," tutur Geryantika.
Kelima, PNBP penyelenggaraan penyiaran dan kewajiban pelayanan universal dalam bentuk persen pendapatan kotor (gross revenue). Menurut Geryantika, sistem seperti ini lebih adil kepada lembaga penyiaran lainnya.
Baca Juga: Memasuki masa sidang ke IV, DPR kebut penyelesaian lima RUU
Keenam, adanya simplifikasi klasifikasi perizinan jasa penyiaran berdasarkan referensi internasional.
Ketujuh, penyebarluasan informasi penting dari sumber resmi pemerintah.
Kedelapan adalah pemanfaatan kemajuan teknologi bidang penyiaran. "Harapannya jangan sampai ada perubahan teknologi, UU ini direvisi lagi. Makanya kita masukkan cantolan perubahan teknologi itu dalam salah satu cantolan dalam UU Penyiaran ke depan," katanya.
Sembilan, penyediaan akses penyiaran untuk keperluan khalayak difabel. Menurut Geryantika, saat ini belum semua lembaga penyiaran memenuhi hal ini, misalnya dengan membuat close caption atau menampilkan bahasa isyarat dalam siaran.
Kesepuluh, Kominfo mengusulkan ada aturan yang menyangkut penyelenggaraan penyiaran dalam keadaan force majeur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News