Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji formil dan materiil UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Agenda sidang hari ini adalah mendengarkan keterangan ahli DPR.
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, I Gde Pantja Astawa mengatakan, metode omnibus law dalam pembentukan regulasi di Indonesia. Khususnya dalam penyusunan UU Cipta Kerja dihadapkan pada hal-hal yang berada pada tataran das sollen dan das sein.
Das sollen misalnya adalah gagasan Presiden Jokowi untuk menggunakan metode omnibus law dalam penyusunan UU guna mendukung keinginannnya mewujudkan kesejahteraan rakyat. Yakni melalui pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Serta mengundang atau menarik investor dalam rangka investasi untuk menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan
Astawa menyebut, timbulnya gagasan untuk menggunakan metode omnibus law sebagai instrumen pendukung keinginan mewujudkan kesejahteraan rakyat bertolak dari kenyataan faktual atau das sein. Yaitu adanya obesitas regulasi atau hyper regulasi yang tumpang tindih, tidak ada harmonisasi, inkonsistensi, dan seterusnya
Baca Juga: KKP perketat pemberian izin pemanfaatan ruang laut berisiko tinggi
Ia menanggapi permohonan para pemohon yang menyebut bahwa UU Cipta Kerja sebagai cacat formil karena penyusunan UU cipta kerja dengan menggunakan metode omnibus law tidak dikenal, tidak diakui atau diatur dalam UU tentang pembentukan perundang – undangan (UU P3).
“Penilaian yang demikian itu sangat tidak berdasar atau beralasan,” ujar Astawa dipantau dari Youtube Mahkamah Konstitusi, Rabu (13/10).
Astawa menyebutkan sejumlah argumen terkait tersebut. Pertama, UU P3 dinilai berdiam diri atau tidak responsif terhadap penggunaan metode omnibus law sebagai jalan cepat untuk dapat membuat regulasi secara efektif dan efisien.
“Dengan merujuk konsentrasi berdiam dirinya UU P3, maka penggunaan metode omnibus law dapat dipandang semacam konvensi yang berfungsi melengkapi UU P3 yang tidak responsif tadi,” ujar dia.
Kedua, tujuan UU Cipta Kerja yang disusun dengan menggunakan metode omnibus law adalah menciptakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak melalui kemudahan berinvestasi.
Astawa menilai, tujuan tersebut dihadapkan oleh hukum, dalam hal ini UU P3 dimana prosedur UU diatur didalamnya. Hukum dan prosedur adalah cara untuk mencapai tujuan. Artinya baik buruknya hukum dan prosedur diukur dari tercapai atau tidaknya tujuan.
Manakala tujuan tidak tercapai maka mestinya hukum dan prosedur itu perlu ditinjau ulang. Bisa jadi hukum dan prosedur itu sudah tidak relevan lagi dengan konteks masalah, situasi dan kondisi serta dinamika yang terjadi. Khususnya dalam pembentukan regulasi.
Baca Juga: RUU KUP dianggap memberatkan usaha mikro kecil, asosiasi sodorkan 5 usulan
Astawa menyebut, omnibus law dapat dikatakan bukan inovasi murni karena diilhami dalam praktek di beberpa negara lain. Seperti di Amerika Serikat dan Filipina.
“Dalam arti kalau memang penggunaan metode ini lebih efisien dan efektif mengapa tidak. Ini sebabnya kalau kita bicara penyusunan UU Cipta Kerja dengan menggunakan metode omnibus law memang tidak ada, tidak diakui dan tidak diatur. Dikatakan konvensi, bahwa UU P3 ini berdiam diri,” ujar dia.
Astawa mengatakan, ketika satu konstitusi berdiam diri, tidak bisa merespon suatu perkembangan keadaan, maka disitu konvensi ketatanegaraan menjadi sebuah jawaban. Artinya ditumbuhkanlah kebiasaan – kebiasaan yang bisa jadi nanti akan dinormakan dalam satu aturan.
“Artinya dengan konvensi ini kedepannya bisa kita jadikan tradisi yang kalau kita mencoba memberikan sebuah legalitas tentu saja UU P3 perlu kita revisi kedepan. Nah selama ini belum direvisi, ini bisa kita kembangkan menjadi sebuah konvensi persis seperti ketika konstitusi tidak bisa menjawab atau berdiam diri menghadapi tantangan zaman,” imbuhnya.
Sementara itu, Ahli DPR, Muhammad Fauzan mengatakan, diperlukan adanya kolaborasi dan kerjasama antara Presiden dan DPR dalam proses pembentukan sebuah Undang – Undang. Sebab itu setiap RUU harus dibahas bersama dan mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
“Ruang dan partisipasi masyarakat sebenarnya telah terbuka dan dilaksanakan. Bahwa pada akhirnya ada masukan yang mungkin tidak diakomodir dalam pembentukan UU nomor 11 tahun 2020 (tentang Cipta Kerja), hal tersebut sebenarnya merupakan hal yang biasa terjadi dalam proses penyusunan dan pembentukan sebuah peraturan perundang – undangan,” ujar Fauzan.
Baca Juga: MK putuskan Asabri tidak lebur ke BPJS Ketenagakerjaan, ini kata Asabri
Sebagai informasi, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, I Gde Pantja Astawa menjadi ahli dalam perkara 91/PUU-XVIII/2020 Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945. Pemohon adalah Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas, Ali Sujito, Muhtar Said, S.H., M.H., Migrant CARE (yang diwakili oleh Ketua dan Sekretaris), Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat (yang diwakili oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum), dan Mahkamah Adat Alam Minangkabau yang diwakili oleh Ketua (Imam) Mahkamah.
Serta menjadi ahli dalam perkara 103/PUU-XVIII/2020 Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945. Pemohon adalah Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), yang diwakili oleh Elly Rosita Silaban selaku Presiden Dewan Eksekutif dan Dedi Hardianto selaku Sekretaris Jenderal.
Sementara itu, Muhammad Fauzan merupakan ahli dalam perkara 107/PUU-XVIII/2020 Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945. Pemohon adalah Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), dkk.
Serta ahli dalam perkara 6/PUU-XIX/2021 Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945. Pemohon adalah Riden Hatam Aziz, S.H., Suparno, S.H., Fathan Almadani, dan Yanto Sulistianto.
Selanjutnya: MK putuskan tidak lebur ke BPJS Ketenagakerjaan, ini respons Taspen
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News