kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

Setelah tak lagi berstatus ibukota, ini yang bakal terjadi pada Jakarta


Rabu, 01 Mei 2019 / 07:58 WIB
Setelah tak lagi berstatus ibukota, ini yang bakal terjadi pada Jakarta


Sumber: Kompas.com | Editor: Hasbi Maulana

KONTAN.CO.ID - JAKARTA.  Presiden Joko Widodo menyetujui wacana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke luar Jawa, saat mengadakan rapat tertutup di Kantor Kepresidenan, Senin (29/4/2019) bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 

Jokowi memilih opsi yang ditawarkan Bappenas untuk memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa. Di luar itu masih terdapat dua opsi lain yang diberikan Bappenas, namun keduanya masih menjadikan Pulau Jawa sebagai lokasi pengganti Jakarta. 

Meski baru masuk tahap pemaparan kajian, namun Jakarta bisa saja kehilangan statusnya sebagai ibu kota negara karena berbagai alasan yang ada. Misalnya, beban yang terlalu berat sebagai pusat bisnis dan pemerintahan, kawasan yang kerap terendam banjir karena memiliki tanah yang di bawah permukaan laut, kemacetan yang semakin parah hingga menimbulkan banyak kerugian, dan sebagainya. 

Jika benar kegiatan pemerintahan negara tak lagi dipusatkan di Jakarta, dan kota itu tak lagi menjadi ibu kota negara, kira-kira inilah empat hal yang akan terjadi pada Jakarta. 

Kehilangan status daerah khusus 

Kemungkinan pertama yang pasti akan terjadi adalah Jakarta kehilangan statusnya sebagai daerah khusus yang selama ini dilekatkan di depan namanya, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. 

Hal ini disampaikan oleh pakar hukum tata negara Refly Harun. “Implikasi hukum jika pemindahan Ibu Kota dilakukan adalah status DKI sebagai daerah khusus ibu kota akan berubah pastinya. Jadi, UU tentang DKI harus diubah karena bukan lagi daerah khusus ibu kota kan," kata Refly, Selasa (30/4/2019). 

Perubahan penyelenggaraan pemerintah akan terjadi sebagai bentuk konsekuensi hilangnya status DKI dari Jakata. Jakarta Tidak lagi menjadi ibu kota negara, Jakarta tak ubahnya akan berstatus sama seperti provinsi-provinsi lainnya, misalnya Jawa Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan sebagainya. 

Namun, bisa saja status daerah khusus tetap disandang oleh Jakarta apabila pemerintah memutuskan untuk memberinya sebagai daerah dengan kekhususan baru. "Kalau pemerintah mau menentukan Jakarta sebagai daerah khusus lain ya bisa saja. Soalnya di Indonesia ada daerah khusus, ada juga daerah istimewa, seperti Aceh, Yogyakarta, dan Papua," ujar Refly. 

Tetap jadi pusat bisnis 

Pemindahan ibu kota berarti memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke tempat yang baru, sesuai dengan yang disampaikan oleh Bappenas. Meskipun demikian, Jakarta masih akan tetap menjadi pusat kegiatan bisnis dan perekonomian sebagaimana saat ini. 

Selain itu, berbagai lembaga yang bergerak di bidang keuangan dan ekonomi, misalnya Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), tetap akan dipusatkan di Jakarta.

"Jakarta tetap akan menjadi pusat bisnis bahkan harus sudah menjadi pusat bisnis yang levelnya regional atau level Asia Tenggara," kata Ketua Bappenas Bambang Brodjonegoro. 

Bambang menyebut cara ini mengadaptasi praktik negara lain yang dinilai sukses memindahkan ibu kota negaranya dari satu kota ke kota lainnya. Kemacetan yang terjadi di Jakarta juga tercatat menimbulkan kerugian yang semakin membesar dari tahun ke tahun. 

"Kerugian ekonomi yang diakibatkan tahun 2013 sebesar Rp 56 triliun per tahun, yang kami perkirakan angkanya sekarang sudah mendekati Rp100 triliun per tahun dengan makin beratnya kemacetan di wilayah Jakarta," kata Bambang. 

Proyek pembangunan besar dilanjutkan

Terlepas jadi atau tidaknya pemindahan ibu kota dari Jakarta ke kota lain, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan tidak akan memengaruhi proyek pembangunan besar yang sudah direncanakan akan dilakukan di Jakarta. 

"Jadi tadi dalam pertemuan ini Presiden menegaskan bahwa pembicaraan mengenai ibukota tidak ada hubungannya dengan rencana pembangunan besar-besaran di Jakarta. Rencana pembangunan besar-besaran di Jakarta tetap jalan terus," ujar Anies. 

Sebelumnya Anies mengajukan proyek infrastruktur dalam rapat terbatas bersama Presiden Jokowi di Istana, Selasa (19/3/2019). Dalam sidang pleno Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) DKI Jakarta pada bulan April lalu. Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengungkapkan rincian dari sembilan infrastruktur yang didukung oleh lembaganya. 

  • Pengembangan jaringan rel kereta MRT menjadi 223 kilometer senilai Rp 214 triliun; 
  • Pengembangan jaringan rel kereta LRT menjadi 116 kilometer senilai Rp 60 triliun; 
  • Pengembangan panjang rute Transjakarta menjadi 2.149 kilometer senilai Rp 10 triliun; 
  • Pembangunan jaringan rel elevated loopline sepanjang 27 kilometer senilai Rp 27 triliun; 
  • Penyediaan permukiman hingga 600.000 unit (fasilitas pembiayaan 30 persen) senilai Rp 90 triliun; 
  • Peningkatan cakupan air bersih hingga 100 persen penduduk DKI senilai Rp 27 triliun; 
  • Peningkatan cakupan jaringan air limbah hingga 81 persen penduduk DKI senilai Rp 69 triliun; 
  • Revitalisasi angkot (first and last mile transport) hingga 20.000 unit senilai Rp 4 triliun; 
  • Pengendalian banjir dan penambahan pasokan air senilai Rp 70 triliun. 

Tetap macet 

Sementara itu, menurut Anies Baswedan, pemindahan ibu kota dari Jakarta tidak akan mengurangi tingkat kemacetan yang seolah sudah menjadi ikon tersendiri bagi Jakarta. Menurut Anies, faktor utama penyumbang kemacetan di Jakarta bukanlah kegiatan dari sektor pemerintahan. 

"Jadi perpindahan ibu kota tidak otomatis mengurangi kemacetan, karena kontributor kemacetan di Jakarta adalah kegiatan rumah tangga dan kegiatan swasta, bukan kegiatan pemerintah," kata Anies, Senin (29/4/2019). 

Kendaraan yang memadati jalanan Jakarta, dari catatan yang dipaparkan Anies, jumlah kendaraaan milik pribadi jauh lebih banyak daripada kendaraan yang dimiliki oleh dinas pemerintah. "Di catatan kita jumlah kendaraan pribadi di Jakarta sekitar 17 juta, kendaraan kedinasan 141 ribu. 

Kalau pun pemerintah pindah, tidak kemudian mengurai masalah kemacetan, kemudian dihitung PNS menggunakan kendaraan pribadi, maka dalam hitungan kita pegawai pemerintah itu sampai 8 persen sampai 9 persen," kata Anies.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "4 Hal Ini Akan Terjadi pada Jakarta jika Tak Lagi Jadi Ibu Kota".

Sumber: KOMPAS.com (Christoforus Ristianto, Erlangga Djumena, Ihsanuddin)

Penulis : Luthfia Ayu Azanella
Editor : Bayu Galih

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×