kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Serikat Buruh Ajukan Gugatan Uji Materil UU Cipta Kerja ke MK pada 12 Oktober


Minggu, 08 Oktober 2023 / 16:32 WIB
Serikat Buruh Ajukan Gugatan Uji Materil UU Cipta Kerja ke MK pada 12 Oktober
ILUSTRASI. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji formil Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji formil Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Setelah putusan tersebut, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, pihaknya akan mengajukan gugatan uji materil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). Iqbal menyebut, pemohon uji materil diantaranya Partai Buruh, KSPI, dan federasi serikat pekerja lainnya.

Adapun, pasal di UU Cipta Kerja yang digugat diantaranya pasal tentang upah, outsourcing, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pemutusan hubungan kerja (PHK), pesangon, cuti dan waktu kerja, tenaga kerja asing (TKA), dan sanksi pidana.

“Waktu penyerahan (gugatan uji materil) ke MK sedikit mundur sekitar 12 Oktober (2023) karena ada sedikit perbaikan isi gugatan,” ujar Iqbal kepada Kontan, Minggu (8/10).

Baca Juga: MK Tolak Gugatan Serikat Buruh Soal UU Cipta Kerja

Dihubungi secara terpisah, Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Elen Setiadi mengatakan, pemerintah akan menanggapi sesuai dengan ketentuan yang mengatur proses pengujian UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (MK).

Pemerintah juga akan menyiapkan keterangan presiden, alat bukti, saksi, ahli, dan hal lainnya yang dipandang perlu.

“Sesuai ketentuan, tentu pemerintah akan siap untuk menjalani pengujian materil di MK. Pemerintah akan siapkan keterangan materi yang digugat,” ujar Elen kepada Kontan, Minggu (8/10).

Seperti diketahui, pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat secara formil sehingga MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

MK menyatakan  pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan'.

Setelah putusan tersebut, pemerintah justru menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, pada 30 Desember 2022.

Merespons pemerintah, serikat buruh mengajukan gugatan uji formil Perppu 2/2022 ke Mahkamah Konstitusi. Belum sempat diputuskan pada sidang putusan MK, pada 21 maret 2023, DPR mengesahkan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang.

Selanjutnya, presiden pada 31 maret 2023 telah mengundangkan Perppu 2/2022 menjadi UU nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.

Atas dasar fakta tersebut, MK pada sidang putusan tanggal 14 April 2023, berpendapat bentuk hukum Perppu 2/2022 telah berubah menjadi UU 6/2023. Dengan demikian, permohonan para pemohon telah kehilangan objek.

Setelah putusan itu, serikat buruh mengajukan gugatan uji formil UU 6/2023 ke MK. Hasilnya, pada 2 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan uji formil serikat buruh, meski 4 hakim dari 9 hakim MK menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).

Empat hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda antara lain Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.

Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam dissenting opinion nya mengatakan, pembentukan Undang-Undang a quo (UU 6/2023) secara nyata bertentangan dengan ketentuan dan semangat yang terkandung dalam Pasal 22 dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta perintah Mahkamah dalam Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.

“Saya berpendapat Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan para Pemohon dengan menyatakan pembentukan Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga Undang-Undang a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam dissenting opinion-nya.

Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam dissenting opinion nya mengatakan, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada dasarnya memerintahkan pembentuk undang-undang memperbaiki proses pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja. Artinya, perintah perbaikan itu dilakukan bersama-sama oleh Presiden dan DPR dengan memperhatikan prinsip partisipasi yang bermakna (meaningful participation).

Namun dalam perkembangannya, Presiden Jokowi justru mengambil langkah penetapan Perppu. Tindakan pembentuk undang-undang tersebut jelas-jelas bukan merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

“Apabila penerbitan Perppu diterima dan dinilai sebagai tindak lanjut Putusan a quo, maka sangat dikhawatirkan di kemudian hari praktik ini akan menjadi preseden buruk dengan maraknya penerbitan Perppu yang lahir dari tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi sekadar untuk mempercepat pembentukan dan perbaikan dari suatu undang-undang tanpa melibatkan DPR,” ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam dissenting opinion-nya.

Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan, tindakan mengeluarkan Perppu 2 Tahun 2022 yang terakhir telah disetujui DPR dan disahkan menjadi UU 6/2023 untuk mengembalikan atau menggantikan UU 11/2020 guna memenuhi perintah amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 adalah langkah yang dapat disebut sebagai “ketidakpatuhan” terhadap perintah putusan badan peradilan in casu putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat serta harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh warga negara termasuk lembaga negara.  

“Saya berpendapat, seharusnya Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon dinyatakan prematur dan Mahkamah sebelum menjatuhkan putusan akhir, melalui putusan provisi memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk memenuhi amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam dissenting opinionnya.   

Baca Juga: UU Cipta Kerja Dinilai Jadi Bagian Reformasi Struktural untuk Dorong Daya Saing

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×