Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepanjang tahun 2020, jumlah perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tercatat meningkat dibanding tahun 2019.
Mengutip data dari sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) dari 5 pengadilan niaga (PN) yakni PN Jakarta Pusat, PN Medan, PN Semarang, PN Surabaya dan PN Makassar, tren kasus PKPU tercatat meningkat. Jika pada tahun 2019 terdapat 434 perkara PKPU, tercatat pada tahun 2020 terdapat 641 perkara PKPU.
Praktisi Hukum sekaligus Advokat dari kantor Frans & Setiawan Law Office, Hendra Setiawan Boen mengatakan, peningkatan perkara PKPU saat ini karena ekonomi yang tidak bisa bergerak normal akibat pandemi covid-19. Kondisi ekonomi yang tidak normal maka neraca banyak pelaku usaha akan terkontraksi dan akibatnya mereka tidak memiliki uang tunai yang cukup untuk membayar hutang kepada pihak ketiga.
“Pihak ketiga yang memiliki tagihan ini tentu juga memerlukan dana tunai sehingga upaya tercepat memaksa debitur untuk membayar adalah dengan mengajukan PKPU,” kata Hendra kepada Kontan, Minggu (3/1).
Hendra meminta, pemerintah seharusnya melakukan lock down atau melakukan karantina wilayah untuk daerah zona merah penyebaran covid-19. Hal ini agar tidak menyebar ke daerah lain yang masih relatif bersih. Ia menilai, akibat pemerintah menolak karantina wilayah, maka saat ini sudah ratusan tenaga kesehatan meninggal dan tingkat keterisian rumah sakit di banyak daerah mulai penuh. Apabila sistem kesehatan kolaps maka akan semakin sulit mengendalikan pandemi ini.
“Selama pandemi masih ada, maka hampir tidak ada harapan ekonomi akan pulih dan ini akan semakin menaikan jumlah perkara – perkara bisnis khususnya terkait hutang piutang,” ujar Hendra.
Baca Juga: Berstatus PKPU, Kresna Life: Kami akan bertanggung jawab selesaikan kewajiban nasabah
Sementara itu, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan, Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi), Ajib Hamdani mengatakan, tren PKPU yang meningkat di tahun 2020 ini, bisa menunjukkan beberapa sisi sudut pandang.
Dari sudut pandang ekonomi, memang dengan adanya kontraksi ekonomi yang cukup dalam sebagai akibat pandemi ini, dunia usaha relatif kesulitan mengatur cashflow untuk terus menjalankan roda bisnisnya.
Sedangkan, dari sudut pandang hukum bisnis, justru para pelaku usaha semakin melihat bahwa alternatif PKPU adalah alternatif jalan tengah agar tidak pailit dan adanya kepastian hukum atas penyelesaian masalah kredit berjalan. “PKPU ini secara prinsip menjadi jalan tengah terbaik, untuk sisi debitur maupun sisi kreditur nya,” kata Ajib.
Ajib menyebut, kreditur mempunyai kepastian dan jaminan dari kurator untuk agar debitur bisa melakukan pola pembayaran yang bisa diterima. Karena kecenderungan di lapangan, sisi "kemauan" pembayaran hutang ini yang dilihat kurang dari pihak debitur.
Sedangkan dari sisi debitur, sisi positifnya adalah, ketika pola restrukturisasi secara konvensional terlalu rumit atau complicated, maka PKPU bisa menjadi sebuah shortcut agar lebih ada kemudahan pola pembayaran.
Lebih lanjut, Hipmi memperkirakan di tahun 2021 akan semakin banyak pengajuan PKPU ketika pola restrukturisasi konvensional perbankan tidak diperpanjang atau tidak ada deviasi kebijakan yang mempermudah debitur. “Yang perlu dikaji lebih detail secara kualitatif dan kuantitatif adalah, pengajuan PKPU ini karena 'kemauan' atau karena 'kemampuan' bayarnya yang bermasalah,” ucap Ajib.
Selanjutnya: OJK: Bisnis asuransi jiwa dan umum bisa lebih baik di 2021
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News