Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kalangan pro-kesehatan beberapa waktu belakangan gencar menuntut pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (PP 109/2012).
Dorongan ini mengacu pada amanat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menargetkan penurunan angka perokok anak.
Hal ini dinilai sebagian kalangan sebagai upaya yang tidak tepat, terlebih dilakukan di tengah kondisi pandemi yang belum mereda di Indonesia. Pemerintah sebaiknya memfokuskan diri pada upaya penurunan angka penderita Covid-19 serta memastikan kestabilan perekonomian negara di tengah situasi ini, dibandingkan melakukan perubahan-perubahan yang tidak krusial.
Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Atong Soekirman mengatakan Revisi PP 109/2012 belum ada urgensinya, sehingga tidak perlu dilakukan. Dia menjelaskan pada masa pandemi Covid-19, baik pemerintah pusat hingga pemerintah daerah berfokus pada penganangan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Baca Juga: Begini harapan gabungan perusahaan rokok kepada pemerintah di masa pandemi Covid-19
"Daripada melakukan revisi PP 109, fokus saja pada penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi,” ujarnya kepada media beberapa waktu lalu.
Dia menambahkan revisi PP 109/2012 akan berdampak luas ke berbagai sektor. Penerimaan negara pun akan ikut terdampak, pasalnya dana cukai dari produk tembakau menyumbangkan 10% dari penerimaan negara. Sektor lain yang ikut terdampak adalah ketenagakerjaan. “Tenaga kerja yang terkait langsung maupun yang tidak terkait langsung pada produk tembakau sebanyak 7.000 orang,” ujar Atong.
Revisi PP 109/2012 mencakup pelarangan penggunaan bahan tambahan, pembesaran gambar peringatan kesehatan, pengetatan restriksi iklan, serta pelarangan kegiatan sponsor dan promosi oleh Industri Hasil Tembakau (IHT). Kalangan Kesehatan meyakini tambahan larangan dan pembatasan aspek-aspek ini akan mampu mendorong penurunan angka perokok.
Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo mengatakan untuk mengurangi jumlah perokok berusia di bawah 18 tahun maka yang perlu ditegakkan adalah implementasi dari PP 109/2012 dan bukan malah regulasinya yang direvisi.
Budidoyo menjabarkan bahwa berbagai aturan pengendalian tembakau termasuk PP 109/2012 telah berhasil. Di antaranya, menurunkan jumlah prevalensi perokok dewasa, pada tahun 2013 jumlah prevalensi perokok dewasa adalah 29,3% dan tahun 2018 sudah turun menjadi 28,8% (Data Riskesdas).
Baca Juga: Industri hasil tembakau (IHT) masih diliputi ketidakpastian di masa pandemi Covid-19
Selain itu terdapat penurunan jumlah produsen rokok, data Kementerian Perindustrian menunjukkan pada tahun 2013 terdapat 1.206 produsen rokok, sedangkan pada tahun 2018 telah mengalami penurunan drastic menjadi 770 produsen.
“Volume produksi rokok pun turun berdasarkan data Kementerian Keuangan. Pada tahun 2013, volume produksi rokok nasional mencapai 346 milyar batang, sementara tahun 2020 volume ada di angka 322 milyar batang,” ujar Budidoyo, Jumat (30/7/2021) dalam keterangan tertulis.
Ketua Umum AMTI itu menambahkan capaian tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pengendalian tembakau yang saat ini berlaku termasuk di dalamnya PP 109/2012 sudah efektif dalam mengendalikan produk tembakau, yang justru harus diperkuat adalah implementasinya, serta sinergi dengan berbagai Kementrian Lembaga juga elemen masyarakat.
Baca Juga: Kadin Jatim sebut revisi PP 109 mengancam keberlangsungan industri tembakau
PP 109/2012 juga sudah mengatur pelarangan penjualan rokok kepada anak berusia di bawah 18 tahun dan ibu hamil dan mengatur juga peran serta masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam upaya edukasi bahaya merokok dan pencegahan perokok anak.
Implementasi peraturan tersebut di lapangan memang masih memperlihatkan kekurangan. Managing Director IPSOS di Indonesia, Soeprapto Tan mengungkapkan bahwa 32% pedagang tradisional atau warung sama sekali tidak tahu adanya peraturan larangan penjualan rokok kepada anak-anak. Hal ini dikarenakan mereka tidak pernah mendapat sosialisasi pemerintah tentang aturan tersebut.
"Sebagian menyimpulkan larangan itu hanya berlaku bagi pembeli rokok, dan bukan untuk pedagang. Bahkan, pedagang rokok tradisional tersebut juga mengira bahwa produk rokok dapat diperjualbelikan kepada siapa saja, selama rokok tersebut legal," kata Soeprapto Tan.
Selanjutnya: Sri Mulyani berikan insentif pengusaha rokok berupa relaksasi pembayaran pita cukai
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News