Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Syamsul Azhar
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance (MLA) in Criminal Matters between the Republic of Indonesia and The Swiss Confederation antara Republik Indonesia dengan Konfederasi Swiss sebagai Undang-Undang
Panitia Khusus (Pansus) DPR RI untuk Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance (MLA) in Criminal Matters between the Republic of Indonesia and The Swiss Confederation antara Republik Indonesia dengan Konfederasi Swiss, terdiri dari gabungan Komisi I dan Komisi III serta Pemerintah.
Ketua Pansus yang juga Wakil Ketua Komisi III DPR RI Sahroni resmi mengetuk palu tanda pengesahan RUU tersebut usai seluruh fraksi menyetujui dan memberi catatan terhadap RUU MLA RI-Swiss ini.
“Pengambilan keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Republik Indonesia dengan Konfederasi Swiss, untuk ditindaklanjuti pada pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR RI?," tanya Sahroni di ruang rapat Pansus B, Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Kamis (2/7) pekan lalu.
Selanjutnya hasil kesepakatan di Panja ini akan di bawa ke pembahasan tingkat II untuk disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 14 Juli 2020 mendatang.
Rapat Panja tersebut dihadiri wakil pemerintah, yakni Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan delegasi Kementerian Luar Negeri. Sahroni seperti dikutip Parlementaria, yang diunggah di www.dpr.go.id (3/7) menyatakan DPR RI memandang bahwa RUU MLA RI-Swiss ini sangat menguntungkan bagi Indonesia.
Undang-Undang tersebut nantinya akan menjadi platform kerja sama hukum, khususnya dalam upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi (asset recovery).
"Alhamdulillah ini berjalan lancar ya. Ini untuk kebaikan bersama kedua negara," kata Syahroni. Dengan Undang-Undang ini maka Indonesia punya dasar hukum yang kuat saat masalah timbal balik.
Sahroni menilai aturan ini penting lantaran Swiss merupakan financial center terbesar di Eropa serta memiliki teknologi informasi yang mumpuni, sehingga Indonesia sangat membutuhkan MLA tersebut.
Menurut dia, MLA ini sangat strategis. Apalagi Swiss sudah memiliki teknologi canggih dalam pertukaran data dan informasi. "Cuma di Indonesia agak lambat karena informasi data yang tidak akurat," imbuh legislator dapil DKI Jakarta III itu.
Perjanjian MLA ini terdiri dari 39 pasal, yang mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan.
Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana yang luas ini merupakan salah satu bagian penting dalam rangka mendukung proses hukum pidana di negara peminta.
Sejalan dengan itu, perjanjian MLA ini dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan (tax fraud) sebagai upaya Pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia, dan tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya.
Seperti kita tahu, proses pembahasan RUU di DPR ini juga berjalan cukup panjang. Sebab, Indonesia dan Swiss sejatinya telah menandatangani perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) pada. Senin 4 Februari 2019 silam.
Penandatangan perjanjian yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI, Yasonna H. Laoly dengan Menteri Kehakiman swiss, Karin Keller-Sutter di Bernerhof Bern, swiss, Senin (4/2).
Penandatangan perjanjian MLA Indonesia Swiss ini dilakukan setelah melalui dua kali putaran perundingan, di Bali pada tahun 2015 dan di Bern, swiss tahun 2017.
Lewat kesepakatan ini, pemerintah bisa menggunakan perjanjian MLA untuk memerangi tindak pidana perpajakan maupun kejahatan lain.
Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana ini merupakan salah satu bagian penting dalam rangka mendukung proses hukum pidana di negara peminta.
"Perjanjian ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya, ujar Yasonna, dalam keterangan tertulis yang diterima KONTAN, Rabu (6/2/2019) kala itu.
Perjanjian yang ditandatangani itu pun menganut prinsip retroaktif alias berlaku surut. Dengan begitu, ini bisa menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian, sepanjang putusan pengadilan belum dilaksanakan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News