Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
Perubahan PMK 152 selanjutnya terdapat pada bagian menimbang bahwa cukai hasil tembakau merupakan pendapatan negara yang dikelola melalui mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara yang memiliki peran penting dan strategis dalam pembiayaan program dan kinerja pemerintah.
Juga pembangunan di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia secara terencana, tertib, aman, adil, dan berkesinambungan, sehingga terwujud kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Baca Juga: Imbas Kenaikan Harga, Volume Penjualan HMSP Turun 3,2% premium
Sementara, pada PMK lama menimbang bahwa tarif CHT untuk pengendalian konsumsi barang kena cukai berupa hasil tembakau, kepentingan penerimaan negara, memberikan kepastian arah kebijakan tarif cukai, dan memudahkan pemungutan serta pengawasan barang kena cukai secara berkesinambungan Artinya pengandilan konsumsi bukanlah pertimbangan utama pemerintah saat ini, melainkan penerimaan negara.
Meski demikian, Ekonom Institude of Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan rata-rata tarif cukai 21,55% masih seharusnya disambut wajar oleh para pengusaha rokok. Sebab, tahun ini tidak ada kenaikan tarif.
Menurutnya, tahun ini industri rokok sudah sangat diuntungkan. Alasannya, 80% pergerakan ekonomi industri rokok karena regulas. Untuk itu, langkah pemerintah yang tidak menaikkan CHT di tahun ini dinilai sebagai insentif bagi industri.
Baca Juga: Produk tembakau yang dipanaskan berbeda dengan rokok elektrik ataupun rokok
Namun demikian, tarif CHT 21,55% dan HJE 35% menurut Enny akan membuat penyebaran rokok ilegal semakin meluas. Sebab harga yang jual tiba-tiba melonjak mahal akan semakin sulit bagi pemerintah untuk mengendalikan rokok ilegal.
“Hal tersebut beresiko terhadap efektifitas pengendalian rokok ilegal dan jangan sampai malah penerimaan tidak tercapai,” ujar Enny kepada Kontan.co,id, Selasa (22/10).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News