Reporter: Fahriyadi | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) telah membuat harga material impor konstruksi melambung. Namun, hal tersebut diprediksi tidak akan mengganggu proyek konstruksi yang sedang berjalan saat ini.
"Sampai sekarang kami tidak ada penyesuaian nilai kontrak yang sudah jalan. Kami harapkan kontraktor lebih pintar dan menyiasati pelaksanaan di lapangan dengan optimalisasi dan efisiensi," ujar Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU), Hermanto Dardak, Jumat (23/8).
Menurut Hermanto dari berbagai bahan material konstruksi yang ada, hanya aspal dan besi baja yang masih diimpor dari luar negeri, sedangkan komponen lain seperti pasir, semen, dan beton praktis menggunakan produk lokal.
Kendati harga material impor naik, Pemerintah tetap berupaya memacu percepatan pembangunan infrastruktur tersebut. Dengan begitu, ia memastikan bisa menarik tenaga kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat.
"Artinya, hal itu bisa mengkompensasi inflasi yang terjadi saat ini. Selain itu, kalau infrastruktur cepat selesai berarti ada dukungan ekonomi sehingga menekan ekonomi biaya tinggi yang diakibatkan infrastruktur," katanya.
Jadi, Hermanto menyebut solusi yang bisa dilakukan PU memang melakukan percepatan pembangunan infrastruktur yang ada.
Ia mencontohkan beberapa proyek infrastruktur yang akan dipercepat seperti jalan tol JORR W2, Cikampek-Palimanan, Solo-Ngawi, BORR, dan Cinere-Jagorawi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Badan Pembinaan Konstruksi (BP Konstruksi) Kementerian PU, Hediyanto Husaini. "Banyak kontraktor yang sudah menyetok dan memesan bahan material tersebut sebelum harga naik karena pelemahan rupiah," ujarnya.
Hediyanto mengatakan bahwa untuk proyek single year tidak akan berpengaruh, namun menurutnya pengaruh mungkin ada pada proyek multy years yang memang ada mekanismenya sendiri.
Lebih jauh, ia mengatakan bahwa untuk kebutuhan konstruksi jalan dalam setahun diperlukan material aspal sebanyak 1,2 juta ton aspal. Namun, ketersediaan dalam negeri hanya sekitar 60% dan sisanya diimpor dari Singapura.
Sementara itu untuk kebutuhan baja impor, Hediyanto mengatakan sifatnya sementara karena ke depannya akan diupayakan untuk bisa diproduksi di Indonesia.
"Khusus untuk rangka baja jembatan kita masih impor dari Belanda, Austria dan Spanyol," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News