Reporter: Bidara Pink | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah masih bergerak di atas Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS) selama bulan Oktober 2022. Pelemahan nilai tukar rupiah tersebut turut memberi sumbangan terhadap inflasi pada bulan Oktober 2022.
Meski begitu, ekonom kompak menyebut sumbangan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap inflasi pada periode tersebut relatif rendah.
Seperti Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memperkirakan, terjadi penurunan harga (deflasi) pada bulan Oktober 2022 sebesar 0,08% secara bulanan (MoM).
Penurunan inflasi tersebut seiring dengan inflasi makanan yang relatif rendah. Meski secara tahunan, masih terdapat inflasi yang tinggi sebesar 5,74% yoy.
Baca Juga: Ada Panen, Tingkat Inflasi Melandai di Oktober 2022
“Pelemahan rupiah turut berkontribusi. Namun, inflasi makanan bergejolak (volatile food) relatif rendah. Sehingga bahkan terdapat deflasi secara bulanan,” terang David kepada Kontan.co.id, MInggu (30/10).
Sementara Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira memperkirakan, masih ada peningkatan harga (inflasi) secara bulanan pada Oktober 2022, yaitu sebesar 0,07% MoM. Namun, tingkat inflasi ini lebih landai dari inflasi pada bulan September 2022 yang mencapai 1,17% MoM.
Pelemahan kurs sepanjang Oktober 2022 menyumbang pada imported inflation. Namun, Bhima melihat sumbangannya masih tak terlalu terlihat pada Oktober 2022, mengingat produsen masih menggunakan stok lama.
Namun, Bhima menginagtkan, bila rupiah terus melemah, sumbangan pelemahan nilai tukar rupiah ke inflasi bisa bertambah besar. Pasalnya, ini mempersempit margin para pelaku usaha, sehingga mau tak mau mereka menaikkan harga jual barangnya kepada konsumen.
Baca Juga: IHSG Diprediksi Melemah di Perdagangan Terakhir Oktober, Senin (31/10)
“Pelaku usaha dilema. bila harga jual produk tidak naik, tekanan biaya produksi akan ditanggung oleh produsen, sementara bila dinaikkan harga jualnya, menginta kondisi daya beli konsumen saat ini, omzet bisa turun,” jelas Bhima.
Lebih lanjut, Bhima memperkirakan inflasi secara tahunan akan berada di level 5,83% yoy. Sehingga, meski inflasi secara bulanan melandai, tetapi inflasi tahunan masih tinggi hampir menyentuh 6% YoY.
Faktor penyumbang inflasi ini adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang menyundut kenaikan beberapa sektor, seperti transportasi. Selain itu, kenaikan harga pangan seperti beras, tempe, dan kenaikan harga rokok juga masih memengaruhi inflasi.
Bhima khawatir, kenaikan inflasi ini masih akan dirasakan oleh Indonesia selama beberapa waktu ke depan. Belum lagi ada faktor seasonal natal dan tahun baru pada akhir tahun ini, yang akan memicu kenaikan permintaan. Selain itu, masih ada risiko pelemahan kurs rupiah hingga akhir tahun ini.
“Sehingga, pemerintah bisa melakukan antisipasi untuk momen akhir tahun, juga terkait logistik dan ketersediaan. Bank Indonesia (BI) juga perlu menyoroti pergerakan nilai tukar rupiah, karena imported inflation bisa menjadi PR utama pengendalian inflasi ke depan,” tandas Bhima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News