Reporter: Herlina KD | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera mengajukan usulan revisi aturan yang akan menjadi dasar pemungutan royalti batubara oleh perusahaan pemegang Izin Usaha Penambangan (IUP). Cara ini menjadi jalan bagi pemerintah untuk menaikkan tarif royalti kepada produsen batubara pemegang IUP dari tarif yang berlaku sekarang sebesar 3%-7%, menjadi 10% dari nilai penjualan.
Tambahan tarif royalti ini tak lain untuk memperbesar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di pertambangan umum yang selama ini masih dianggap minim. Dalam perhitungan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) kenaikan tarif royalti menjadi 10% ini bisa mengerek penerimaan sekitar Rp 4 triliun dalam setahun.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro, Selasa (4/6), menjelaskan, tambahan penerimaan ini lumayan besar bagi pos PNBP. Tapi tampaknya beleid baru ini tak akan diberlakukan pada tahun ini. Sebab kalau mengintip target PNBP dari royalti sumber daya alam di APBNP 2013 tidak ada perubahan. Yakni masih sebesar Rp 16,87 triliun, atau sama dengan target di APBN 2013.
Bambang berharap, Kementerian ESDM segera membahas perubahan aturan tarif royalti batubara ini agar bisa segera diterapkan. Bambang ingin aturan ini bisa kelar tahun ini agar bisa berlaku pada tahun ini juga.
Dalam hitungan Direktur PNBP Direktorat Jenderal Anggaran Kemkeu, Askolani, bila kenaikan tarif royalti batubara IUP berlaku pada tahun ini, belum memberi dampak signifikan pada penerimaan negara. "Kalaupun bisa masuk ke dalam penerimaan dengan tarif baru, hanya sedikit sekali. Dampak kenaikan royalti baru akan optimal terasa pada tahun 2014," katanya Selasa (4/6).
Bea keluar batubara
Usulan pemerintah untuk mengenakan pungutan lebih besar kepada perusahaan tambang ini mendapat sambutan positif. Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Maruarar Sirait, mengusulkan, pemerintah sebaiknya juga memberlakukan bea keluar (BK) batubara seperti yang berlaku pada komoditas mineral lainnya.
Bambang Brodjonegoro mengakui, potensi penerimaan BK dari batubara lebih besar ketimbang potensi yang dihasilkan dari rencana kenaikan royalti. Dalam hitungan Bambang, jika batubara IUP dikenai BK sebesar 20% maka potensi penerimaan yang bisa masuk ke kas negara sekitar Rp 40 triliun per tahun.
Namun, Bambang menegaskan, saat ini belum cukup alasan untuk mengenakan BK batubara. Penyebabnya, selama ini latar belakang pemerintah mengenakan BK komoditas mineral adalah agar komoditas tersebut bisa diproses lebih lanjut sehingga tercipta hilirisasi. Lalu kebutuhan komoditas tersebut di dalam negeri cukup besar.
Nah, untuk batubara, saat ini belum ada teknologi yang bisa menghasilkan produk turunannya. Selain itu, kebutuhan domestik saat ini masih bisa terpenuhi. "Kalau mau dikenakan bea keluar, paling tepat waktunya tahun 2014 ketika ekspor mineral dan batubara mulai dilarang," kata Bambang.
Jadi, mulai sekarang harus dipersiapkan aturannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News