kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45892,58   -2,96   -0.33%
  • EMAS1.324.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Risiko penerapan standar akuntasi baru tentang sewa di laporan keuangan SPT 2020


Rabu, 07 April 2021 / 13:02 WIB
Risiko penerapan standar akuntasi baru tentang sewa di laporan keuangan SPT 2020
ILUSTRASI. Risiko penerapan standar akuntasi baru tentang sewa di laporan keuangan SPT 2020


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada bulan ini, banyak perusahaan tengah memfinalisasi laporan keuangan 2020 dan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pajak penghasilan (PPh) badan 2020.

Jika memiliki transaksi sewa dan harus merujuk pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73 tentang sewa yang mulai berlaku di 2020, perusahaan harus mencermati risiko pajaknya.  

“Ketika mulai menerapkan PSAK 73, perusahaan sebagai wajib pajak badan harus menyiapkan argumentasi kuat ketika terpaksa harus berbeda penafsiran dengan petugas pajak," kata Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono dalam keterangan tertulisnya, Rabu (7/4). 

Menurut Prianto, perbedaan penafsiran antara petugas pajak dan perusahaan berpangkal dari perubahan model akuntansi keuangan menurut PSAK 73. Sebagai konsekuensinya, pos-pos laporan keuangan yang terkait dengan transaksi sewa khususnya bagi lessee juga terdampak.

Baca Juga: Pengamat: PSAK 72 akan memicu sengketa pajak perusahaan pasca pelaporan SPT

Ini karena laporan laba rugi yang disusun sesuai PSAK pasti menjadi dasar perhitungan PPh badan sesuai ketentuan pajak.  “Paling tidak, ada dua risiko pajak yang menjadi sumber potensi tax dispute dari penerapan PSAK 73 ini," kata Prianto.  

Pertama, pengakuan biaya sewa oleh lesseea-kan digantikan dengan pengakuan biaya bunga atas utang sewa dan biaya penyusutan atas aset yang disewa. Risiko pertama ini timbul dari sewa yang kontraknya lebih dari setahun dan nilainya tidak kecil (non-low value asset). 

Beberapa pertanyaan yang dapat muncul adalah untuk penghitungan PPh Badan apakah perusahaan tetap mengakui biaya sewa atau mengakui biaya bunga dan biaya penyusutan dari aset yang disewa.  

Kedua, untuk perubahan biaya di laporan laba rugi tersebut, seperti diuraikan risiko pajak pertama di atas, apakah perusahaan harus memotong PPh atas biaya sewa yang tidak dicatat atau biaya bunga? Sesuai ketentuan PPh, kedua biaya tersebut merupakan objek pemotongan pajak dan pemotongnya adalah pihak yang membayarkan penghasilan. 

Baca Juga: Perubahan PSAK di pelaporan SPT PPh Badan pada April 2021 bisa picu sengketa pajak

“Jika kita analisis kedua sumber potential tax dispute di atas, kita harus merujuk pada standar akuntansi yang dirujuk saat perumusan UU PPh," ujar Prianto. 

Alasannya adalah karena paradigma akuntansi di UU PPh sejak pemberlakuan pertama kali di 1983 sampai sekarang tidak pernah berubah. “Berdasarkan penelitian disertasi saya, paradigma akuntansi untuk menghitung PPh Badan sesuai UU PPh dari dulu sampai sekarang tetap menggunakan akuntansi harga perolehan (Historical Cost Accounting atau HCA),"  katanya. 

Untuk risiko pajak pertama, Prianto menegaskan, fokus utama dari HCA adalah transaksi (transaction-focused), bukan substansi ekonomi (economic substance focused) seperti yang diadopsi oleh PSAK 73. Ketika terjadi tax dispute, ketentuan PPh harus memberikan kepastian (certainty) bagi perusahaan dan petugas pajak. Untuk itu, kedua pihak tersebut harus sama-sama mengacu pada dokumen transaksi sebagai alat pembuktian.  

Baca Juga: Kurs pajak hari ini 7-13 April 2021, rupiah balik melemah atas mayoritas mata uang

“Jika pakai dokumen transaksi, bukan substansi ekonomi, para pihak yang bersengketa tersebut akan dengan mudah memperoleh kepastian hukum," tuturnya. 

Dengan demikian, sesuai dokumen transaksi, perusahaan membayar imbalan sewa, bukan imbalan bunga. Selain itu, perusahaan tidak memiliki aset yang disewa sehingga sesuai Pasal 11 UU PPh, perusahaan sebagai penyewa (lessee) tidak dapat melakukan penyusutan. 

Untuk risiko pajak kedua, jika perusahaan dan petugas pajak sepakat bahwa UU PPh fokus pada transaksi untuk memberikan kepastian hukum, potensi tax dispute tidak akan terjadi. Ini karena kedua pihak tersebut pasti merujuk pada dokumen transaksi yang menguraikan kontrak sewa. Dengan demikian, perusahaan yang melakukan pembayaran akan memotong PPh atas imbalan sewa, bukan imbalan bunga. 

“Berdasarkan Pasal 17 Peraturan Pemerintah (PP) No. 94/2010, sebenarnya otoritas pajak dapat menerbitkan peraturan yang memberikan penegasan karena ada perubahan PSAK," kata Prianto.  

Ketentuan tersebut secara tegas memberi otoritas pajak wewenang untuk menerbitkan peraturan yang dapat menetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya bagi Wajib Pajak karena ada perubahan PSAK. Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi perusahaan sehingga biaya kepatuhan perusahaan dapat diminimalkan. Selain itu, potential tax dispute terkait penerapan PSAK 73 juga dapat diminimalkan.

Selanjutnya: Begini cara Ditjen Pajak dorong pelaporan SPT Tahunan 2020

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Accounting Mischief Practical Business Acumen

[X]
×