Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan agar Indonesia tidak kalah bersaing dengan negara-negara lain terkait dengan teknologi dan hal-hal terkait inovasi.
Tentunya dibutuhkan investasi tidak sedikit. Untuk itu, Jokowi menginstruksikan agar Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bisa menarik investasi asing di bidang inovasi dan teknologi ke dalam negeri.
"Saya selalu menekankan Indonesia mengundang investasi dan mengundang teknologi maju untuk masuk ke negara kita, membangun pabriknya di Indonesia. Silakan pasarnya untuk ekspor, silahkan pasarnya untuk dalam negeri, sehingga kita ini maju bersama-sama,” ujar Presiden Joko Widodo, saat membuka acara Hipmi, Jumat (5/3), pekan lalu.
Sebagai negara berkembang, Indonesia memang perlu transfer teknologi dari negara lain. Apalagi di bidang inovasi dan teknologi yang selama ini belum menjadi fokus di tanah air.
Baca Juga: MD Pictures gandeng Raffi Ahmad dan RA Pictures siap hadirkan film-film terbaik
Selain itu, masuknya investasi asing saat ini memang sangat dibutuhkan guna mengakselerasi pertumbuhan nasional.
Pun target investasi tahun ini yang cukup besar yakni Rp 900 triliun, sehingga ketertarikan investor untuk masuk perlu ditangani dengan serius. Jangan sampai kasus Tesla kembali terulang.
Di saat ekonomi tengah anjlok akibat pandemi, Indonesia tidak bisa serta-merta mengandalkan investasi domestik saja. Tapi juga perlu lebih gencar menarik investor luar negeri. Terlebih lagi jika menyangkut bidang teknologi dan produk inovasi.
“Penanaman modal asing memang harus ditingkatkan, karena kalau hanya mengandalkan investasi domestik tidak bisa menarik teknologi baru. Indonesia belum bisa menghasilkan produk yang nilai tambahnya tinggi,” ujar ekonom makroekonomi dan pasar keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky dalam keterangannya, Senin (15/3).
Meski demikian mengundang investasi asing masuk memang tak semudah membalikan tangan, apalagi tingkat kemudahan berbisnis Indonesia juga masih jadi yang paling buruk di dunia. Sebagai catatan, tiga tahun terakhir peringkat ease of doing business Indonesia selalu tertahan pada level 73.
Rendahnya peringkat tersebut menjadi acuan investor dalam menjadikan suatu negara menjadi tujuan investasi. Oleh karena itu, jika ada investor yang menjadikan Indonesia sebagai tujuan investasi, seharusnya peluang tersebut tidak disia-siakan.
Riefky menyebut masih rendahnya peringkat ease of doing business di Indonesia ada beberapa hal. Pertama yaitu biaya tenaga kerja yang mahal namun keahlian yang dimiliki rendah atau tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.
Baca Juga: Ini komentar Honda dan Toyota terkait rencana pemberian insentif PPnBM mobil listrik
Lalu juga ada terkait proses perizinan yang sangat lambat. Selain itu ada juga terkait dengan stimulus fiskal baik berupa kebijakan pajak maupun bea cukai yang masih perlu diperbaiki.
“Di Singapura misalnya ada investor asing masuk mengajukan izin hari ini, besok izinnya sudah keluar, namun di Indonesia hal tersebut bisa membutuhkan waktu berbulan-bulan. Kalau dari segi fiskal masih ada yang perlu diperbaiki, misalnya stimulus bea cukai dan perpajakan, investasi asing bisa diberikan bebas pajak bumi dan bangunan. Namun yang paling substansial adalah soal regulasi yang tumpang tindih, dan proses yang lambat,” jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News