kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Revisi UU Pailit mendesak


Rabu, 17 April 2013 / 07:22 WIB
ILUSTRASI. Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Golkar, Mukhamad Misbakhun


Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Dadan M. Ramdan

JAKARTA. Rencana Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi Undang-Undang (UU) No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mendapat dukungan dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

YLKI melihat maraknya kasus pailit yang menimpa sejumlah perusahaan sektor jasa belakangan ini, ternyata merugikan posisi konsumen. Karena itu pemerintah dan DPR perlu segera melakukan evaluasi peraturan pailit.

Apalagi saat ini sangat mudah bagi satu pihak untuk menuntut pailit kepada perusahaan. Bahkan, perusahaan beraset jumbo sekalipun, yang punya utang secuil bisa dijerat pailit, jika ada pihak yang menuntut ke pengadilan.

Ketua Pengurus Harian  YLKI Sudaryatmo mengatakan, hukum kepailitan harus memiliki dimensi konsumen sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda. "Untuk kasus-kasus pailit sebuah perusahan jasa yang menyertakan konsumen, harus ada tata cara khusus dan konsumen harus menjadi prioritas," ujarnya kepada KONTAN, (16/4).

Sebelumnya, Anggota Komisi VI DPR, Azam Azman Natawijaya menyatakan sependapat bahwa revisi UU Kepailitan sangat mendesak. Ia menilai peraturan tentang kepailitan di Indonesia saat ini terlalu sederhana dan mudah untuk menyatakan pailit.
Untuk itu, dia janji di Komisi VI DPR akan secepatnya mengusulkan revisi UU Kepailitan kepada Badan Legislasi (Baleg). Setelah resmi menjadi usulan DPR, maka revisi ini bisa diselipkan dalam program legislasi nasional (Proleg­nas) tahun 2013.

Sudaryatmo mencontohkan, kasus pailit yang sempat melilit PT Telkomsel yang lantas dianulir putusan Mahkamah Agung (MA) pada 21 November tahun lalu. Nah, YLKI melihat perkara yang menimpa Telkomsel membuat ketidakjelasan nasib jutaan para pelanggannya.

Menurutnya, pailit yang menimpa PT Metro Batavia, perusahaan pengelola maskapai penerbangan Batavia Air juga merugikan konsumen. Sebab, hakim pengawas kasus pailit Batavia tidak memperhitungkan posisi konsumen dalam menangani kasus tersebut. "Pemberhentian operasional perusahaan bukan wewenang perusahaan, tapi harus berdasarkan rekomendasi hakim pengawas dan kementerian terkait," tandas Sudaryatmo..

Tiga poin perubahan
Lantas Ketentuan mana dalam aturan pailit yang perlu diubah? Sudaryatmo memaparkan tiga poin. Pertama, substansi UU Kepailitan dan PKPU harus memposisikan konsumen sebagai prioritas. Kedua, hakim wajib melibatkan perspektif konsumen sebelum memutuskan pailit. Ketiga, pelaku usaha tidak boleh berhenti beroperasi saat sudah menerima status pailit tanpa persetujuan hakim dan kementerian teknis.

David ML Tobing, Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat sependapat bahwa konsumen harus didahulukan pembayarannya oleh kurator. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×