kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.922   8,00   0,05%
  • IDX 7.195   54,43   0,76%
  • KOMPAS100 1.105   10,17   0,93%
  • LQ45 876   9,53   1,10%
  • ISSI 221   1,21   0,55%
  • IDX30 447   4,91   1,11%
  • IDXHIDIV20 539   4,62   0,86%
  • IDX80 127   1,20   0,96%
  • IDXV30 134   0,42   0,31%
  • IDXQ30 149   1,27   0,86%

Rencana Penerapan KRIS, Berpengaruh ke Iuran BPJS Kesehatan?


Senin, 27 November 2023 / 19:44 WIB
Rencana Penerapan KRIS, Berpengaruh ke Iuran BPJS Kesehatan?
ILUSTRASI. Penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan akan dilakukan secara bertahap.


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan akan dilakukan secara bertahap. KRIS sendiri nantinya akan menggantikan kelas 1,2 dan 3 dalam BPJS Kesehatan.

Iuran peserta akan disesuaikan dengan keanggotaannya baik di kelas 1,2 dan 3. Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri mengatakan, untuk iuran BPJS Kesehatan dengan adanya KRIS nantinya masih dalam tahap evaluasi. 

"Iuran masih dalam tahap evaluasi dan akan dihitung kembali," kata Asih dihubungi Kontan.co.id, Senin (27/11).

Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan, dengan adanya penerapan KRIS diharapkan tak akan berpengaruh pada iuran. Meski demikian, Ghufron mendukung penerapan KRIS yang diarahkan untuk peningkatan mutu.

"Kita berharap tidak berpengaruh pada iuran, sekarang iuran tetap," kata Ghufron.

Baca Juga: Implementasi KRIS 2025, Kemenkes: Hak Kelas 1 dan 2 Masih Didapatkan Sesuai Iuran

Ia menjelaskan, saat ini iuran peserta BPJS Kesehatan terdiri dari, pekerja penerima upah  (PPU) membayar 1% dari gaji dan untuk pemberi kerja membayar 4%. Adapun untuk peserta yang tidak menerima upah, atau pekerja informal (Peserta Bukan Penerima Upah), apabila memilih kelas 1 iuran atau kontribusi sebesar Rp 150.000 per bulan per orang.

Kemudian untuk peserta kelas II sebesar Rp 100.000. Terakhir kelas III sebesar Rp 42.000, biasanya masyarakat membayar Rp 35.000 lantaran Rp 7.000 masuk dalam subsidi Pemerintah Pusat dan Daerah.

BPJS Kesehatan, kata Ghufron, menunggu kebijakan dari penerapan KRIS. Diketahui saat ini KRIS sudah diterapkan di beberapa rumah sakit. 

"Kan sekarang sedang di uji coba meski sangat terbatas, kita tunggu kebijakannya," kata Ghufron.

Implementasi KRIS nantinya akan menunggu revisi Peraturan Presiden (perpres) 82/2018. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi mengatakan, revisi aturan tersebut saat ini masih dalam pembahasan. 

"Masih dalam pembahasan terkait revisinya. [Kapan rampung?] Belum tahu karena kan dengan kementerian lain ya," kata Nadia. 

Nadia mengatakan, untuk uji coba KRIS sejauh ini sudah sesuai dengan rencana. Sayangnya Ia tak merinci bagaimana hasil evaluasi dari uji coba yang kini dilakukan. 

Hanya saja Nadia mengatakan, bahwa fasilitas kesehatan kini mulai menyesuaikan dengan kriteria yang akan diterapkan dalam KRIS. Nadia menyebut, ditargetkan ada 1.427 RS yang nantinya akan menerapkan KRIS. 

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, pemerintah dalam hal ini Kemenkes harus mengkaji ulang rencana pelaksanaan KRIS dengan satu ruang perawatan. Menurutnya, pemerintah seharusnya menstandarkan kelas 1,2 dan 3, bukan malah menghapusnya.

"Seluruh rumah sakit sudah memiliki kelas 1,2 dan 3 sehingga KRIS yang hanya satu ruang perawatan akan menjadi masalah bagi rumah sakit. Khususnya rumah sakit  swasta untuk memenuhinya," kata Timboel.

Baca Juga: Penerapan KRIS Mundur Jadi 2025, Kemenkes: Masih Belum Final

Kemenkes sebelumnya menyebut pelaksanaan KRIS akan dilakukan secara bertahap di 2025. Namu, sampai saat ini pemerintah belum juga menyelesaikan regulasi tentang KRIS. "Demikian juga Kemenkes belum melibatkan stakeholder untuk membicarakan regulasi KRIS," ungkapnya. 

Timboel berharap adanya KRIS jangan sampai menurunkan kualitas layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kepada pesertanya.

Ia menjelaskan, kenaikan manfaat JKN serta naiknya harga INA-CBGs dan Kapitasi di Permenkes 3 tahun 2023, serta pasien Covid-19 yang ditanggung JKN maka pembiayaan JKN akan terus meningkat. Sedangkan, peningkatan biaya ini belum didukung oleh kenaikan iuran. Padahal Timboel menyebut, iuran sudah diamanatkan naik paling lama 2 tahun. 

"Kenaikan terakhir di 2020, seharusnya iuran JKN naik di 2022 dan 2024 nanti. Namun, pemerintah tidak mematuhinya sehingga saat ini tidak ada kenaikan iuran JKN," kata Timboel.

Ia memprediksi, BPJS Kesehatan defisit di tahun 2025 bila iuran tidak juga dinaikan. Oleh karenanya, Timboel berharap pemerintah bisa fokus pada peningkatan pelayanan, dibandingkan membuat KRIS. 

"Pelaksanaan KRIS berpotensi menurunkan pendapatan iuran JKN karena iuran klas 1 dan 2 berpotensi menurun, karena di era KRIS hanya ada satu ruang perawatan," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×