Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Kantor Akuntan Publik RSM Indonesia memandang implementasi 15 rencana aksi yang dikeluarkan oleh organisasi untuk kerjasama ekonomi dan pembangunan atau Organization for Economic Cooperation & Development (OECD) terkait tindakan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) di Indonesia belum populer.
Tak hanya itu, RSM Indonesia juga menilai Indonesia belum memiliki persiapan untuk mengimplementasikan 15 rencana aksi tersebut. Padahal, Indonesia telah berkomitmen untuk mengimplementasikan ketentuan itu bersama dengan negara-negara anggota G20 lainnya.
"Di Indonesia masih lebih banyak bicara Tax Amnesty dan Transfer Pricing, walaupun keduanya masuk dalam rencana aksi tersebut," kata Managing Partner Governance Risk Advisiory RSM Indonesia Angela Indrawati Simatupang, Rabu (8/6).
Angelina juga mengatakan, implementasi komitmen tersebut tentunya akan berdampak terhadap perusahaan di Indonesia yang merupakan anak usaha perusahaan asing dan perusahaan di Indonesia yang memiliki anak usaha di luar negeri. Implementasi komitmen tersebut akan berdampak terhadap lebih besarnya pajak yang harus dibayarkan perusahaan.
Dengan beban perusahaan yang akan bertambah, perusahaan bisa mengompensasi beban tersebut melalui kenaikan harga jual produknya ke konsumen.
Selain itu, Angelina juga berpendapat bahwa belum pastinya aturan yang akan diterapkan di Indonesia dalam rangka melaksanakan komitmen tersebut bisa menyebabkan investor asing akan ragu untuk berinvestasi di tanah air.
Sebab, adanya ketidakpastian membuat investor tidak bisa melakukan perhitungan keuntungannya. "Padahal pemerintah kan inginnya investasi banyak masuk," tambahnya.
Oleh karena itu, pihaknya menyarankan agar pemerintah membuat road map kebijakan untuk melaksanakan 15 rencana aksi tersebut. Road map kebijakan juga bisa disusun hingga lima tahun ke depan mengingat rencana aksi itu tidak memungkinkan dilakukan dalam waktu yang bersamaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News