kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.333.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Reformasi Pemilu jilid II


Rabu, 29 Januari 2014 / 23:09 WIB
Reformasi Pemilu jilid II
ILUSTRASI. Kode Redeem FF Hari Ini 9 September 2022, Mau Klaim Skin Senjata Gratis? Ini Caranya


Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Terlepas dari berbagai pertanyaan yang tak berjawab, putusan Mahkamah Konstitusi soal pemilihan umum serentak harus diterima. Putusan itu harus dijadikan momentum membenahi sistem pemilu.

Reformasi jilid II untuk mendesain sistem pemilihan umum (pemilu) mutlak dilakukan. Paradigma penafsiran hakim konstitusi yang ada sekarang adalah penafsiran berdasarkan original intent.

Model tafsir original intent itulah yang hidup dalam mayoritas hakim konstitusi yang sekarang, selain Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati yang mempunyai pikiran berbeda dan tidak sepenuhnya menganut model tafsir original intent.

Berdasarkan model penafsiran original intent yang mayoritas dianut hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang ada sekarang, maka desain Undang-Undang (UU) Pemilu harus merujuk pada konstitusi. Ini mengharuskan kita semua memikirkan desain Pemilu 2019 yang lebih menjamin berjalannya pemerintahan yang efektif berbasiskan sistem pemerintahan presidensial.

Berkaitan dengan pemilu, Pasal 22 E Ayat (2) UUD 1945 berbunyi, ”Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Daerah.”

Dengan model tafsir original intent seperti itu maka sebenarnya pemilihan kepala daerah (pilkada) bukan rezim pemilu sehingga MK tidak berwenang mengadili sengketa pilkada.

Penyelesaian sengketa pilkada awalnya diselesaikan Mahkamah Agung, tetapi ditarik ke MK dengan mengubah diksi pilkada menjadi pemilukada. Perubahan istilah itu hanya perilaku elite politik untuk memasukkan pilkada dalam rezim pemilu dan bisa ditangani MK. Akibatnya, penanganan sengketa pilkada MK inilah yang menyebabkan MK ambruk karena Ketua MK Akil Mochtar memperdagangkan sengketa pilkada.

Konsekuensi dari putusan MK itu, perubahan UU Pilkada juga harus merujuk pada semangat putusan MK. Sengketa pilkada tidak lagi diselesaikan di MK karena berdasarkan penafsiran original intent, MK ditugasi menyelesaikan sengketa pemilu nasional. Sengketa pilkada akan diselesaikan menjadi domain pembuat UU untuk membicarakannya.

Prinsip final dan mengikat selama ini dipakai Hakim Konstitusi Akil Mochtar untuk memperdagangkan perkara penanganan sengketa pilkada. Oleh karena itu kita berpendapat, prinsip final dan mengikat tidak boleh diberlakukan untuk penanganan sengketa pilkada.

Dengan putusan MK itu, maka sistem pemilu presiden/wapres harus merujuk pada desain konstitusi. Dengan semangat menciptakan sistem presidensial yang kuat serta dapat berjalannya sistem pemerintahan yang efektif, desain sistem Pemilu 2019 yang baru tetap harus mengatur soal presidential threshold yang masih dipertahankan MK kendati putusan MK itu problematik jika akan diterapkan.

Jika presidential threshold untuk pencalonan presiden ditiadakan, maka bisa dipastikan keinginan untuk menciptakan sistem presidensial dengan penyederhanaan partai politik tidak akan tercapai.

Pemilihan presiden/wapres putaran kedua yang dalam konvensi ketatanegaraan dilakukan dengan pemilihan kedua untuk dua calon teratas juga harus dilihat ulang karena konstitusi mengaturnya secara berbeda. (Hindra Liauw)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×