Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setahun program amnesti pajak berlalu, reformasi perpajakan yang dijanjikan pemerintah belum banyak terdengar gaungnya. Padahal, reformasi pajak ini penting untuk menjangkau potensi pajak secara lebih luas.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kerap menyampaikan, fokus pemerintah saat ini adalah memperbaiki peraturan, sumber daya manusia (SDM) pajak, organisasi, sistem teknologi informasi dan proses bisnis. Akan tetapi, salah satu upaya perbaikan peraturan untuk reformasi pajak lewat revisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP) kini masih jalan di tempat.
Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Hendrawan Supratikno menuturkan, Komisi XI DPR kini masih fokus pada pembahasan RUU tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sehingga, "RUU KUP belum dibahas intensif," ujarnya kepada KONTAN, Senin (12/2).
Namun menurut Ketua Bidang Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Prijo Handojo, dari sisi substansi, draf RUU KUP terbilang buruk. Alih-alih reformasi, rancangan beleid ini justru lebih memberatkan wajib pajak (WP). "RUU KUP yang saya baca sangat jelek. Isinya cuma menambah kekuasaan Ditjen Pajak dan memperberat sanksi bagi WP," katanya.
Oleh karena itu menurut Prijo, sampai saat ini aspek yang belum menunjukkan tanda-tanda adanya reformasi pajak adalah peraturan perpajakan. Menurutnya masih ada peraturan perpajakan masih bertentangan satu dengan yang lain. Prijo mencontohkan, aturan tentang controle foreign company (CFC) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.107/2017, bertentangan dengan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang (UU) PPh.
Di sisi lain reformasi mental di sisi SDM Ditjen Pajak juga belum terlihat. "Belum kelihatan petugas pajak merasa dirinya sebagai pelayan masyarakat. Pada umumnya masih merasa sebagai penguasa," ujar Prijo.
Bisa gaduh
Wakil Ketua Komite Tetap Kadin Bidang Perpajakan Herman Juwono juga menilai, RUU KUP secara substansi kurang bersahabat bagi pebisnis. Karenanya wajar bila RUU ini belum dibahas lebih lanjut, mengingat tahun 2018 adalah tahun politik. Menurutnya, membahas RUU KUP di tahun 2018 akan banyak menimbulkan hiruk pikuk. "Ini bisa jadi komoditi politik pihak oposisi," ungkapnya.
Karena itu, Herman meyakini RUU KUP baru akan dibahas di kabinet baru yakni pada tahun 2019. "Dengan hasil amnesti pajak yang lalu, fiskus percaya penerimaan masih dapat ditingkatkan," ucapnya.
Pengajar perpajakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Hendi Subandi berpendapat, pemerintah memang akan lebih mengutamakan kebijakan populis dan tidak menimbulkan kegaduhan di tahun politik dalam pembahasan perundang-undangan. Sehingga, perlu ada pengawalan dengan baik terkait penguatan regulasi perpajakan ini.
Apalagi di lain sisi, para politisi juga mulai sibuk menyiapkan berbagai hal terkait pencalonan di daerah pemilihan masing-masing. "Saya khawatir agenda reformasi kebijakan itu terancam tidak terselesaikan, karena imbas dari tahun politik mengingat anggota DPR RI sibuk berburu suara ke dapil," katanya.
Oleh karena itu ketimbang hanya mengurusi revisi UU, pengusaha mengimbau agar pemerintah fokus pada reformasi pajak di luar UU, seperti memperbaiki SDM, organisasi, sistem IT, dan proses bisnis. "Reformasi sistem teknologi informasi dan proses bisnis sedang berjalan, tapi masih belum baik," ujar Prijo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News