Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Target penerimaan pajak yang dipatok pemerintah pada tahun ini, yakni Rp 1.454,5 triliun dinilai terlalu besar. Sebab, tantangan yang ada tahun ini lebih berat.
Dengan target ini, dibandingkan dengan realisasi 2017 yang sebesar Rp 1.1147 triliun, maka penerimaan pajak harus naik 26% pada tahun ini.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, seharusnya target yang dipatok oleh pemerintah hanya tumbuh 5% dibandingkan target pada tahun 2017 yang sebesar 1.283,6 triliun. Oleh karena itu, idealnya penerimaan pajak tahun ini hanya dipatok sebesar Rp 1.347 triliun.
Menurut Yustinus, tahun ini perlu dilakukan percepatan reformasi pajak agar kapasitas institusi pemungut pajak meningkat, administrasi lebih baik, dan kepastian hukum meningkat.
Dari kalangan dunia usaha juga menginginkan percepatan reformasi pajak. Pada tahun ini, demi mengawal reformasi ini, dunia usaha menginginkan agar terlaksana diskusi yang rutin antara fiskus dengan asosiasi pengusaha.
Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kadin Herman Juwono mengatakan, hal ini memang pernah ada namun sekarang belum berjalan lagi.
“Forum Group Discussion (FGD) sangat diperlukan karena tahun 2018 dan mendatang akan mendukung atas keberhasilan kebijakan fiskus seperti pemaparan Bapak Dirjen Pajak terkait dengan pilar-pilar arah kebijakan Ditjen Pajak,” kata Herman kepada KONTAN, Kamis (4/1).
Ia mengusulkan, FGD ini hadiri oleh asosiasi terkait, di antaranya Kadin, Apindo, Hipmi, IKPI, IAI, IAPI dan para pengamat perpajakan.
“Sehingga terhindar dari seringnya keputusan direvisi dalam waktu sangat singkat seperti PER mngenai e-reporting/ filing PPN pengecer beberapa waktu lalu,” ujarnya.
Pengamat perpajakan DDTC Bawono Kristiaji menghitung, sampai akhir 2018, diperkirakan realisasi penerimaan pajak hanya akan mencapai Rp 1.219,2 hingga Rp 1.242,1 triliun.
Padahal, sebenarnya pemerintah memiliki dua modal besar mengejar target penerimaan di 2018, yakni basis data hasil program pengampunan pajak dan data dari pertukaran informasi pajak.
Permasalahannya, menurut Bawono, bukan sekadar mengumpulkan data. Lebih jauh lagi, bagaimana mengoptimalkan data dalam sistem compliance risk management (CRM) agar tepat sasaran.
Risiko penerimaan makin besar dengan panasnya suhu politik. Hal itu mempengaruhi penerimaan pajak, karena energi elite politik dihabiskan untuk isu kepemimpinan nasional. "Bisa saja mengurangi upaya mengawal agenda reformasi pajak," ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News