Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) memperkirakan realisasi subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) dan tabung LPG 3 kilogram akan melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN 2019. Pasalnya, realisasi konsumsi BBM dan LPG 3 kg meningkat dan diproyeksi melebihi target konsumsi yang ditetapkan pemerintah sebelumnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu Suahasil Nazara mengatakan, tren realisasi konsumsi solar 2015-2018 berada di bawah kuota. Hal ini dipengaruhi antara lain oleh keberhasilan pengawasan dan preferensi konsumen menggunakan pertadex dan dexlite ata merk BBM lain yang nonsubsidi.
Namun, realisasi konsumsi solar hingga April 2019 tercatat sebesar 5,07 juta kiloliter (Kl) atau sekitar 35% dari pagu APBN. “Januari-April ini kan sepertiga tahun, artinya kalau kita kalikan tiga (setahun) sudah mencapai 15,3 juta Kl. Jadi hampir pasti melebihi kuota,” kata Suahasil di DPR, Selasa (25/6).
Begitu pun dengan konsumsi tabung LPG 3 kg, pemerintah mencatat realisasi konsumsi selalu melampaui kuota dalam dua tahun terakhir. Hitungannya, realisasi konsumsi LPG 3 kg naik dengan rata-rata 5,9% per tahun.
Suahasil menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan realisasi konsumsi maupun subsidi LPG 3 kg melampaui pagunya. Pertama, realisasi subsidi dipengaruhi oleh asumsi harga minyak mentah (ICP) dan kurs rupiah yang cukup volatile. “Kalau asumsi bergerak, maka risiko ada di keuangan negara,” katanya.
Kedua, harga jual eceran LPG 3 kg tidak berubah sejak 2008 yaitu tetap Rp 4.250 per kg. Hal ini menambah risiko pada keuangan negara lantaran melebarnya selisih harga patokan (keekonomian) dengan HJE yang kemudian diperhitungkan sebagai beban subsidi yang ditanggung oleh pemerintah.
Ketiga, distribusi LPG 3 kg masih terbuka bebas sehingga masyarakat cenderung membeli tabung bersubsidi. “Sehingga ada potensi terjadinya arbitrase, seperti tabung oplosan, penimbunan, dan sebagainya karena bisa dibeli golongan masyarakat manapun,” lanjut Suahasil.
Belum lagi, 73% LPG dipasok dari impor sehingga ini menjadi tambahan persoalan bagi kondisi neraca perdagangan Indonesia, ungkapnya.
Terkait distribusi tabung, Suahasil menjelaskan telah dilakukan uji coba mekanisme penyaluran melalui sistem Biometrik dan e-Voucher pada tujuh kabupaten/kota oleh kementerian terkait. “Alternatifnya sudah ada, macam-macam. Tinggal mengambil kebijakannya saja,” ujar dia.
Kondisi realisasi subsidi BBM dan LPG 3 kg yang kerap membengkak ini menuai kritik dari Badan Anggaran DPR RI. Wakil Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah menilai, pemerintah mestinya bisa menyalurkan subsidi energi tepat sasaran salah satunya dengan menaikkan harga jual jika memang kondisinya mengharuskan.
“Artinya kalau realisasinya lebih, maka itu seharusnya menjadi tanggung jawab kementerian atau pemerintah untuk menaikkan (harga). Tidak bisa tidak. Masak LPG 3 kg sejak 2008 sampai sekarang tidak pernah naik harga,” tandasnya, Selasa (25/6).
Sahid mengatakan, realita distribusi tabung LPG 3 kg secara bebas juga telah melanggar Undang-Undang. Sebab, peraturan menyebut barang bersubsidi pemerintah tidak boleh diperjualbelikan secara bebas.
Bahkan, Sahid mengatakan, Banggar nantinya akan meminta pemerintah untuk mematok anggaran subsidi secara tetap alias fix. “Sehingga tidak ada kemudian, tahun 2021 yang namanya kekurangan bayar subsidi, terus saja begitu, sampai akhirnya kita bakar-bakar duit tidak pada tempatnya,” ujar dia.
Ketua Banggar DPR RI Kahar Muzakir menambahkan, pemerintah mesti serius menyelesaikan mekanisme distribusi LPG 3 kg secara tertutup. “Terserah bagaimana, itu tabung 3 kg didistribusikan 'by name by address’ untuk siapa saja yang berhak,” pungkasnya.
Adapun, pagu subsidi BBM dan LPG 3 kg tahun ini dipatok sebesar Rp 100,6 triliun, naik dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 46,9 triliun. Hingga Mei 2019, realisasi subsidi BBM dan LPG tercatat sebesar Rp 23,5 triliun atau 23,4% dari anggaran yang ditetapkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News