Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) mengakui terdapat risiko fiskal yang cukup besar dalam pelaksanaan kebijakan subsidi listrik yang berjalan saat ini. Oleh karena itu, pemerintah berencana merancang kebijakan yang lebih tepat sasaran untuk subsidi listrik tahun anggaran 2020 mendatang.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu Suahasil Nazara mengatakan, sejak 2016 realisasi subsidi listrik selalu melampaui pagu dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Ini tentu untuk keperluan masyarakat sehingga tentu dibayarkan oleh pemerintah. Namun di sisi lain, ada risiko keuangan negara,” ujar dia di hadapan anggota Rapat Badan Anggaran DPR RI, Selasa (25/6).
Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2018, realisasi subsidi listrik mencapai Rp 56,5 triliun yang meliputi subsidi tahun berjalan sebesar Rp 51,2 triliun dan pelunasan kurang bayar sebesar Rp 5,3 triliun.
Suahasil mengatakan, subsidi listrik tepat sasaran untuk golongan rumah tangga pelanggan 450 VA dan 900 VA miskin dan rentan sesuai Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin (DTPPFM) masih belum optimal.
“Meski mulai tahun 207 lalu, PLN sudah melakukan ‘pembersihan’ keluarga mampu dari penerima subsidi listrik 900 VA,” lanjutnya.
Oleh karena itu, ke depan subsidi listrik dipastikan hanya diberikan pada golongan tarif tertentu dan benar-benar mengacu pada DTPPFM.
Selain itu, beban dan risiko keuangan negara terkait penyaluran tenaga listrik terkait dengan adanya selisih tarif keekonomian listrik selama ini. Sebab, sejak 2017, tarif dasar listrik tidak berubah alias tidak mengalami kenaikan.
“Tidak adanya adjustment tarif sehingga ada selisih antara harga keekonomian dan tarif yang betul-betul ditetapkan. Selisih ini ditaruh sebagai kompensasi (oleh pemerintah kepada PLN),” terang Suahasil.
Selisih tarif keekonomian yang ditanggung pemerintah dalam bentuk kompensasi kepada PLN tersebut, menurut Suahasil, menjadi salah satu risiko keuangan negara, serta masalah bagi transparansi fiskal dan laporan operasional pemerintah.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum lama ini memberi catatan terhadap LKPP terkait hal tersebut. BPK memberi catatan pada realisasi subsidi tahun 2018 yang melampaui pagu akibat salah satunya terdapat penyediaan bahan bakar minyak (BBM) dan listrik oleh badan usaha melalui skema subsidi maupun skema penugasan yang harga jualnya ditetapkan pemerintah di bawah harga keekonomisan.
“Pemerintah dan DPR perlu membahas skema pengelolaan keuangan dan pelaporan pertanggungjawaban yang tepat atas penetapan harga jual di bawah harga keekonomisan tersebut,” tutur Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara.
Oleh sebab itu, Suahasil mengatakan, pemerintah berencana mengurangi besaran kompensasi terhadap PLN ini. Namun, ia belum menjelaskan secara rinci dengan cara apa pengurangan kompensasi ini dilakukan.
“Arahan kebijakan ke depan adalah mengurangi kompensasi ini dan ini tentu akan berimplikasi ke BUMN dan penerimaan negara,” kata dia.
Apakah kebijakan pengurangan kompensasi ini sama artinya dengan opsi menaikkan tarif dasar listrik, Suahasil tak menjawab. Menurutnya, keperluan menaikkan tarif listrik akan dibahas seiring dengan proses persiapan APBN 2020.
“Itu (opsi menaikkan tarif listrik) nanti, kita lihat waktu lagi menyusun APBN,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News