CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.466.000   -11.000   -0,74%
  • USD/IDR 15.860   -72,00   -0,46%
  • IDX 7.215   -94,11   -1,29%
  • KOMPAS100 1.103   -14,64   -1,31%
  • LQ45 876   -10,76   -1,21%
  • ISSI 218   -3,03   -1,37%
  • IDX30 448   -5,87   -1,29%
  • IDXHIDIV20 540   -6,91   -1,26%
  • IDX80 126   -1,77   -1,38%
  • IDXV30 135   -1,94   -1,41%
  • IDXQ30 149   -1,85   -1,22%

Rasio pajak bertumpu pada pemulihan ekonomi


Senin, 27 Juli 2020 / 18:07 WIB
Rasio pajak bertumpu pada pemulihan ekonomi
ILUSTRASI. Rasio pajak atau tax ratio ke depan akan tergantung pada pemulihan ekonomi dalam negeri.


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Rasio pajak atau tax ratio ke depan akan tergantung pada pemulihan ekonomi dalam negeri. Secara berkelanjutan, penerimaan negara akan tumbuh apabila ekonimi kembali sehat.

Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat perkembangan rasio pajak tahun 2019 sebesar 9,76% terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka ini lebih rendah setidaknya sejak empat tahun terakhir yakni 2018 (10,24%), 2017 (9,89%), 2016 (10,36%), 2015 (10,76%). Sementara itu, di tahun 2020 prediksi Kemenkeu di level 9,1%, lalu di 2021 berkisar di rentang 8,25%-8,63%.

Sementara itu, data Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam laporannya yang berjudul Revenue Statistics Asian and Pasific Economies menungkapkan, rasio pajak Indonesia cenderung stagnan pada 2007-2018. Bahkan, merupakan salah satu yang terendah se-Asia-Pasifik.

Baca Juga: Simplikasi tarif cukai rokok dapat mendorong terciptanya persaingan setara

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan, rasio pajak merupakan masalah struktural setiap tahun. Terlebih, di tahun ini dampak corona virus disease (Covid-19) telah menggerus penerimaan perpajakan.

Kata Febrio, kondisi tax ratio Indonesia terjadi karena pertumbuhan penerimaan perpajakan lebih lambat daripada pertumbuhan ekonomi secara nominal. Sebab, di saat ekonomi baru tumbuh, penerimaan negara butuh waktu beberapa bulan agar bisa menyerap dampak dari pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, Febrio mengakui, masalah terbesar dari penerimaan pajak adalah basis pajak yang tidak tumbuh, bahkan cenderung tidak bertambah. Sehingga, di saat ekonomi tumbuh malah bertolak belakang dengan perkembangan masyarakat yang menjadi wajib pajak patuh.

“Ini bukan hal yang gampang ini sudah terjadi bertahun-tahun dan masalah struktural jadi untuk mengubah ini dibutuhkan kebijakan yang struktural artinya kebijakan yang sifatnya holistik,” ujar Febrio dalam konferensi pers lewat daring, Jumat pekan lalu (24/7).

Kendati demikian, Febrio bilang, upaya pemeritah untuk meningkatkan rasio pajak adalah dengan cara memtakan basis pajak berdasarkan data kepatuhan formal dan material wajib pajak. “Perluasan basis dengan menambah orang yang bayar pajak. Memperluas sektor usaha untuk membayar pajak,” ujar Febrio.

Di tahun ini, perluasan basis pajak yang dilakukan oleh otoritas pajak setidaknya ada dua hal. Pertama, menambah basis pajak baru melalui perubahan fungsi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya dan KPP Pratama. Kedua, pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap produk digital dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

Di sisi lain, Febrio mengatakan, pemerintah terus melihat lagi efektifitas insentif perpajakan untuk dunia usaha dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang dianggarkan sebesar Rp 123 triliun. Diharapkan dengan adanya stimulus ini, dunia usaha bisa cepat membaik dan memberikan pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga: Disetujui Banggar, berikut sederet postur makro fiskal untuk tahun 2021



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×