Reporter: Anna Suci Perwitasari, Tri Sulistiowati | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Tak terasa setahun sudah masa pemerintahan Presiden Joko Widodo berjalan. Dalam kurun waktu tersebut, rapor penanganan tindak pidana korupsi terbilang merah. Mulai pihak Kepolisian, Kejaksaan hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti mati kutu.
Lihat saja apa yang menimpa KPK sepanjang tahun ini. Tak ada kasus besar yang ditangani oleh lembaga antirasuah ini. Yang menjadi pemberitaan justru masalah hukum yang mendera para pimpinannya.
Ambil contoh kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang terjadi di awal tahun ini. Setelah keduanya dicopot dari kedudukannya di KPK, otomatis KPK seperti kehilangan tajinya. Kasus besar yang ditangani KPK tahun ini mayoritas hanya menyangkut para kepala pemerintah daerah.
Salah satu yang terbesar adalah dugaan penyuapan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan oleh Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho. Di dalam pengembangannya, kasus ini menyeret pengacara kondang OC Kaligis. Tapi selain kasus ini, otomatis KPK bagai hilang di telan bumi.
Hal yang sama terjadi pada Kejaksaan Agung. Setelah adem ayam di awal tahun, pada pertengahan tahun tiba-tiba melakukan gebrakan dengan menjadikan mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan sebagai tersangka. Dahlan dituduh bertanggungjawab terhadap tindak pidana korupsi dalam pembangunan 21 gardu induk di wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
Tapi nasib sial kemudian hadir. Setelah keok di sidang praperadilan yang diajukan Dahlan, taring Kejaksaan dalam menangani kasus ini pun memudar. Jika sebelumnya sempat yakin dapat menyeret para tersangka ke meja hijau, kasus pembangunan gardu induk tersebut kini malah mandek.
Rapor baik sebenarnya sempat diperlihatkan oleh Kepolisian, melalui Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) yang bertindak tegas terhadap beberapa kasus lawas dan baru. Sebut saja kasus yang melibatkan PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) adalah salah satu kasus lama yang kembali dikulik Bareskrim.
Bahkan untuk kasus TPPI, Bareskrim sudah menetapkan tiga tersangka. Bahkan Bareskrim sempat melakukan pemanggilan dan pemeriksaan kepada mantan Menteri Keuangan saat itu yang dijabat oleh Sri Mulyani. Sayangnya ketiganya hingga kini masih menghirup udara bebas dengan berbagai alasan.
Di bawah kepemimpinan Komisaris Jenderal Budi Waseso, Bareskrim juga mengorek kasus baru. Salah satunya adalah dugaan korupsi di Pertamina Foundation. Sayangnya, gertakan tersebut tak pernah mencapai meja hijau hingga Budi dimutasi ke Badan Narkotika Nasional (BNN). Kasus ini pun akhirnya menguap tanpa jejak.
Satu kasus lagi yang tengah ditangani Bareskrim adalah dugaan korupsi dugaan korupsi mobile crane di PT Pelindo II. Bareskrim sempat melirik Direktur Utama Pelindo II J.R Lino sebagai tersangka. Namun akhirnya Kejaksaan Agung menerapkan Direktur Operasi dan Teknik Pelindo II Ferialdy Noerlan sebagai tersangka.
Nah, sebenarnya Bareskrim sudah menyelesaikan penyidikan terhadap satu kasus korupsi yakni kasus suap dwelling time yang melibatkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Partogi Pangaribuan. Berkas kasus ini pun sudah meluncur ke Kejaksaan. Apakah akan mandek disana? Belum ada yang tahu karena berkas dari lima tersangka yang sebelumnya sudah diberikan Bareskrim, empat dikembalikan oleh pihak Kejaksaan. Alasannya berkas tersebut belum lengkap.
Lembeknya penanganan hukum pada kasus korupsi di Indonesia dilihat Romli Atmasasmita, Ahli Hukum Pidana Universitas Padjajaran, sebagai keragu-raguan Presiden Jokowi dalam melakukan penegakan hukum. "Komitmennya memang jelas, tapi praktiknya tidak maksimal," ujarnya Rabu (14/10).
Tak ayal, ia menilai ketiga lembaga penegak hukum tersebut bakal kesulitan untuk bertindak agresif dalam menyidik kasus korupsi. Lantaran, pejabat pemerintah terlalu banyak ikut campur dalam urusan penegakan hukum, hingga akhirnya membuat gaduh suasana politik.
Sementara itu, pengamat hukum dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fariz Fachryan menyebut, mandeknya tiga lembaga tersebut disebabkan oleh lemahnya fungsi monitoring yang kini berjalan di ketiga lembaga hukum itu.
Selain itu, ketiganya masih enggan terbuka dalam menyampaikan proses penyidikan serta kemajuan kasus yang tengah ditangani. Tapi, Fariz menilai Polri, Kejaksaan dan KPK dapat kembali agresif jika mau melakukan reformasi struktural di dalamnya.
Ia menilai, saat ini banyak posisi strategis di ketiga lembaga tersebut yang diisi oleh orang-orang kurang berkompeten dan hanya didorong oleh partai politik. Alhasil, penanganan kasus korupsi tidak maksimal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News