kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Proses kasus investasi emas bodong jalan di tempat


Jumat, 02 Mei 2014 / 18:31 WIB
ILUSTRASI. Roblox Promo Code Desember 2022 dan Cara Klaimnya, Ini Daftar yang Masih Aktif


Reporter: Tedy Gumilar, Surtan PH Siahaan, Herry Prasetyo | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Sudah lebih dari setahun kasus dugaan money game berkedok investasi emas memakan korban. Sejak saat itu, ribuan masyarakat yang menjadi korban menempuh berbagai cara agar dana mereka bisa kembali. Termasuk menyeret para pemilik perusahaan investasi bodong tersebut ke ranah hukum.

Tapi, titik terang penyelesaiankasus-kasus itu tidak juga terlihat. Sebagian besar dana nasabah yang diduga mencapai triliunan rupiah tak kembali. Sementara, tidak satu pun pelaku yang divonis bersalah merasakan dinginnya lantai hotel prodeo.

Satu-satunya kasus yang sampai ke pengadilan adalah penipuan yang dilakukan CV Raihan Jewellery. Tragisnya, setelah  elalui perjalanan berliku, nasabah Raihan yang melaporkan kasus ini ke Polda Jatim pada 25 Februari 2013 mesti menelan pil pahit. Jaksa cuma menuntut setahun penjara. Lalu, 30 September 2013, majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya membebaskan Muhammad Azhari, Direktur Raihan, dari segala tuntutan.

Kejaksaan Tinggi Jawa Timur lantas mengajukan kasasi. Berkas kasasi telah mereka kirimkan ke Mahkamah Agung (MA), 27 Januari 2014 lalu. “Saya berharap Artidjo Alkostar yang menjadi hakimnya,” kata Rudy Kandarani, korban dari Raihan.

Artidjo memang dikenal sebagai hakim agung yang beberapa kali memberikan vonis lebih berat ketimbang putusan sebelumnya. Meski kecil harapan uangnya bisa kembali, Rudi menyimpan harapan. Paling tidak, keadilan bagi para korban ditegakkan.

Mandek di polisi

Berbeda dengan Raihan, kasus pidana investasi emas bodong lainnya hingga kini masih mangkrak di kepolisian. Misalnya, kasus PT Gold Bullion Indonesia. Pada 2 Oktober 2013, sebanyak 23 nasabah Gold Bullion melaporkan kasus ini ke Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Tapi, malah dioper ke Subdirektorat Keamanan Negara Direktorat Reserse dan Kriminal Umum (Kamneg Ditreskrimum) Polda Metro Jaya lewat laporan tanggal 21 Oktober 2013.

Suwondo Nainggolan, Kepala Kamneg Polda Metro Jaya, mengatakan, kasus tersebut masih dalam status penyidikan. “Banyak kasus penipuan investasi yang masuk ke saya, salah satunya Gold Bullion,” ujarnya. Sayangnya, Suwondo enggan menjelaskan lebih perinci posisi penyidikan yang dia maksud.

Nyatanya, meski dialihkan ke bagian yang tidak sesibuk satuan Reserse Mobil (Resmob), kasus Gold Bullion jalan di tempat. Polisi baru sampai pada pemeriksaan saksi pelapor, staf Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan staf Gold Bullion. Sedang Direktur Utama Gold Bullion Mohammed Fadzli dan istri keduanya, Hessy Purwantie, yang menjadi komisaris, belum juga tersentuh.

Adapun dua direktur dan dua komisaris Gold Bullion yang merupakan warganegara Malaysia sudah kabur sekitar Maret 2013. Mereka adalah Abdul Mofti (direktur keuangan), Zairosezary (wakil dirut), serta Mohd Kama rul dan Marey (komisaris).

Kombes Rikwanto, Kabid Humas Polda Metro Jaya, menyebut, polisi masih akan memanggil saksi-saksi dan tidak bisa memastikan kapan akan memeriksa terlapor. Tapi, informasi dari Koordinator Lapangan Forum Perjuangan Nasabah (FPN) Gold Bullion Taufik Kurniawan, polisi sudah dua kali melayangkan surat panggilan kepada Fadzli. “Penyidik bilang, sudah dua kali memanggil. Cuma alamatnya tidak valid. Jadi surat panggilannya mental lagi,” kata Taufik.

Terang saja, sikap kepolisian ini memancing kekecewaan para nasabah korban Gold Bullion. “Kalau alamat tidak ada, bisa dicari. Aparat di Polda Metro Jaya sepertinya tidak tahu kalau kasus ini PR-nya Pak Sutarman,” ungkap perwakilan FPN Ahmadi Hasan dengan kesal.

Asal tahu saja, 10 September 2013 lalu, Komisi XI DPR menggelar pertemuan antara nasabah korban investasi emas bodong dengan beberapa perusahaan, antara lain Gold Bullion dan Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS). Perusahaan lain yang diundang, PT Makira Nature, PT Peresseia Mazeka Dwisapta Abadi, dan PT Lautan Emas Mulia, tidak nongol di Senayan.

Kepala Bareskrim Mabes Polri waktu itu, Sutarman, juga hadir. Dalam pertemuan tersebut, DPR meminta kepolisian segera memproses hukum kasus Gold Bullion dan GTIS jika ditemukan unsur pidana. Kini, Sutarman sudah naik pangkat menjadi Kapolri, namun pengaduan pidana yang diajukan para korban masih teronggok di meja penyidik.

Tabloid KONTAN sudah melayangkan permintaan wawancara kepada Fadzli via e-mail. Sayang, hingga tulisan ini naik cetak, belum ada respon dari Fadzli. Adi Priantomo Widodo, kakak Ipar Fadzli yang juga Gold Stock Manager Gold Bullion, juga tidak merespon permintaan wawancara dari Tabloid KONTAN melalui telepon dan pesan singkat.

Melibatkan jenderal

Tak cuma melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memberikan sertifikat syariah kepada Gold Bullion, kasus ini juga menyeret nama Yayasan Darmoadira. Yayasan ini dibentuk oleh para jenderal TNI dan kepolisian lulusan Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) tahun 1976 hingga 1980.

Ceritanya, pada 7 Februari 2013, Gold Bullion dan Darmoadira meneken nota kesepahaman. Isinya, pertama, memberikan pelayanan bantuan hukum lewat Atidhira Law Firm yang berada di bawah Darmoadira untuk Gold Bullion. Kedua, pengadaan satuan pengamanan (satpam) oleh PT Garda Sriwijaya yang berada di bawah Darmoadira untuk Gold Bullion. Ketiga, pembentukan kantor cabang Gold Bullion di Padang, Sumatra Barat, oleh PT Syafnaza Samsya, perusahaan di bawah Darmoadira.

Ketua Yayasan Darmoadira Brigjen Pol Mochammad Nasser Amir membenarkan adanya nota kesepahaman tersebut. Hubungan antara Darmoadira dan Gold Bullion bermula dari beberapa jenderal anggota Darmoadira yang menjadi nasabah Gold Bullion. “Tapi, itu belum ada realisasinya karena belum sampai sebulan Gold Bullion langsung bermasalah,” kilahnya.

Nasser membantah bahwa keberadaan Darmoadira membuat pengusutan kasus ini berjalan lambat. Pasalnya, anggota Darmoadira termasuk dirinya juga menjadi korban Gold Bullion. Nilai investasinya beragam. Nasser membenamkan uang Rp 420 juta yang diakuinya sebagai gabungan milik saudara-saudaranya. “Saya juga korban. Ada 10 anggota Darmoadira yang juga jadi korban,” kata dia.

Sayang, Nasser tidak menyebut, siapa saja jenderal lain yang duitnya nyangkut di Gold Bullion. Namun, informasi yang masuk ke Tabloid KONTAN, purnawirawan Komjen Pol Ahwil Lutan juga menjadi salah satu korban Gold Bullion. Ahwil pernah menjadi duta besar Indonesia untuk Meksiko. Kini ia menjabat sebagai Koordinator Kelompok Ahli Badan Narkotika Nasional.

Konon Ahwil menginvestasikan uang senilai Rp 500 juta-an di Gold Bullion, pada awal 2013. Tapi, Ahwil membantah informasi tersebut. “Enggak, tuh,” tulisnya via SMS.

Lepas dari bantahan Ahwil, mengapa para petinggi militer dan polisi lain maupun Darmoadira tidak ikut melaporkan kasusnya ke polisi? Padahal, selain sertifikat syariah dari MUI, nota kesepahaman dengan Darmoadira justru dijadikan modal oleh Gold Bullion mengincar nasabah-nasabah baru.

Nasser bilang, Darmoadira sudah melayangkan protes keras ke Gold Bullion lantaran merugikan nama mereka dan anggotanya secara pribadi. Cuma, mereka memang tidak berniat ikut melapor masalahnya ke polisi. “Kalau proses hukum, kan, sudah diawali dengan laporan ke Polda Metro oleh nasabah lain,” kilahnya.

GTIS terkatung-katung

Nasib nasabah korban GTIS tak kalah tragis. Setelah pembayaran atthoya alias bonus mandek pada Februari 2013, ribuan nasabah menuntut pengembalian dana mereka. Karena tidak ada kejelasan, September 2013, sebagian korban mulai melaporkan GTIS secara bertahap ke Polda Metro Jaya dan Bareskrim Mabes Polri. Namun, lagi-lagi, hingga saat ini perkembangan kasusnya masih terhenti di meja penyidik polisi.

Direktur Penyidikan Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Brigjen Pol Arief Sulistyanto mengatakan, Senin ini (28/4), Polda Metro Jaya akan menggelar perkara GTIS. Tadinya ia meminta gelar perkara dilakukan Selasa (22/4). “Tapi penyidiknya bilang masih mendalami temuan uang GTIS Rp 70 miliar. Saya meminta dilakukan audit,” katanya.

Anehnya, pernyataan Arief dibantah Rikwanto. Ia bilang, penyidik tak menemukan uang Rp 70 miliar yang dimaksud Arief. “Polisi juga belum akan melakukan gelar perkara pekan depan,” tegas Rikwanto.

Nasabah korban GTIS menduga, lambannya penanganan kasus ini lantaran melibatkan banyak nama besar. Sebut saja, MUI yang menerbitkan sertifikat syariah untuk GTIS. Beberapa nama seperti Ma’ruf Amin dan Ichwan Sam juga terlibat di GTIS sebagai Dewan Pengawas Syariah. Yayasan Dana Dakwah Pembangunan yang berada dibawah naungan MUI pun mendapat setoran berupa 10% keuntungan perusahaan itu.

Selain itu, nama Ketua DPR Marzuki Alie juga terseret kasus ini. Ia merupakan penasihat GTIS. Tapi belakangan Marzuki berkali-kali menyangkal keterlibatannya dalam GTIS.

Satu-satunya titik-terang kasus GTIS ialah penetapan Direktur Utama GTIS Taufik Michael Ong alias Ong Han Chun dan Direktur GTIS Desmond Yap sebagai tersangka. Cuma, penetapan ini sendiri terlambat. Pasalnya, sejak Februari 2013 Ong dan Desmond sudah kabur dari Indonesia. Pada 26 Maret 2014 lalu, Ong dimasukkan ke dalam daftar pencarian orang (DPO) Interpol.

Direktur GTIS yang lainnya Edward Ho Choon Hoong telah diperiksa Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya. Tapi, warga negara Malaysia ini masih berstatus sebagai saksi. Menurut Rikwanto, Edward sudah dicekal. Dan, ia berani menjamin Edward tidak kabur serta masih ada di Indonesia.

Yang perlu dicatat, penetapan status Ong sebagai buronan Interpol bukanlah atas aduan nasabah GTIS. Melainkan berdasarkan laporan Aziddin pada 23 Juli 2013 atas dugaan pidana penggelapan dan pencucian uang. Sayang, Aziddin yang kini menjabat sebagai direktur utama GTIS belum merespon permintaan Tabloid KONTAN untuk mengklarifikasi pelbagai masalah yang membelitnya.

Pencucian uang

Meski begitu, nasabah GTIS tidak patah arang. Mereka akan mencoba langkah hukum baru. “Kami akan mengajukan laporan soal tindak pidana pencucian uang sehingga bisa diproses ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dalam minggu-minggu ke depan akan melapor ke Bareskrim Mabes Polri,” ujar Santoso, Ketua Tim 9 yang mewakili para nasabah korban GTIS.

Santoso berharap, upaya terbaru ini bisa membongkar aliran dana GTIS. Dengan begitu, kejelasan soal nasib dana mereka bisa diketahui. Plus, menyeret orang-orang yang selama ini diuntungkan oleh GTIS.

Upaya menggiring kasus ini ke ranah pencucian uang juga digelar para nasabah korban PT Trimas Mulia. Kamis (24/4), puluhan korban Trimas mendatangi Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Mereka didampingi pengacara Rino Ayahbi. “Kami coba dengan pasal pencucian uang. Indikasinya, dia berupaya menyembunyikan aset-aset yang didapat dari menipu para nasabah,” tegas Rino.

Meski sudah berlalu sekitar setahun sejak Trimas berhenti membayar bonus, Rino menilai laporan terbaru ini tidak terlambat. “Proses hukum tidak ada kata terlambat. Cuma, kalau orang minta duit balik, saya tidak bisa janji karena saya bukan debt collector,” katanya.

Menurut Rino, langkah ini ditempuh kliennya lantaran pengembangan pengaduan para nasabah soal dugaan penipuan dan penggelapan Trimas sebelumnya berjalan lamban. Tadinya, para nasabah mengharapkan polisi mengembangkan penyidikan ke dugaan pencucian uang. Boro-boro berkembang, Yoga Dendawancana, Direktur Utama Trimas, masih berstatus sebagai saksi terlapor.

Sekadar mengingatkan, setelah berkali-kali disodori janji manis pengembalian dana, sekitar Agustus 2013, sebagian korban akhirnya mengadukan Yoga ke Polda Metro Jaya. Catatan KONTAN, ada 400 nasabah Trimas yang membuat laporan ke polisi.

Setelah tahun berganti, tepatnya 13 Januari 2014, barulah polisi melakukan pemanggilan terhadap Yoga. Setelah mangkir pada panggilan pertama, Rino menyebutkan, Yoga memenuhi beberapa panggilan berikutnya. “Ya, semua panggilan dari Polda Metro Jaya terkait laporan customer, saya selalu berusaha menyempatkan hadir,” kata Yoga.

Yoga sendiri mengklaim, sudah menyelesaikan pengembalian dana milik sekitar 100 nasabah. Namun, ia tak mengungkapkan, berapa nilainya. Selain itu, dia juga mengaku sedang berunding perihal pembayaran ke 15 nasabah yang kebetulan telah melaporkan kasus ini ke polisi. Nilainya mencapai Rp 17 miliar.

Sebanyak 1.000 nasabah Trimas sudah memegang kepemilikan tanah di Grand Serang Residence (GSR), Serang, Banten, sebagai jaminan. Tanah tersebut bisa dimiliki oleh nasabah sebagai penyelesaian masalah dengan Trimas. “Total luas tanahnya 72 hektare. Nilai jual saat ini masih dalam proses antara GSR dengan beberapa calon investor,” kata Yoga.

Doni, salah seorang korban Trimas, pernah ditawari kaveling di GSR, tapi dia tidak tertarik. “Harga tanah ratusan ribu tapi dihitung Rp 1 juta–Rp 3 juta per meter,” ujarnya.


***Sumber : KONTAN MINGGUAN 31 - XVIII, 2014 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×