Reporter: Sofyan Nur Hidayat, Syamsul Ashar, Fitri Nur Arifenie | Editor: Edy Can
JAKARTA. Kunjungan Menteri Perindustrian, MS Hidayat ke Italia dan Korea Selatan pekan lalu membawa hasil. Menggandeng perusahaan lokal, perusahaan di kedua negara itu akan ikut memproduksi konverter atau converter kit bahan bakar gas (BBG).
Hidayat mengatakan, dua perusahaan yang telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) kerjasama teknologi dengan Kementerian Perindustrian adalah Landi Renzo SpA dari Italia dan Dymco Co Ltd dari Korea Selatan. "Kami mempersiapkan agar secara teknis dan operasional program converter kit bisa berjalan mulai April," kata Hidayat, Senin (30/1).
Kunjungannya bersama Dirjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi (IUBTT) Kementerian Perindustrian (Kemperin) Budi Darmadi ke Italia dan Korea Selatan dilakukan atas perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun ia menegaskan, kunjungan ini hanya menjalin kerjasama, bukan untuk menggenjot impor konverter. Adapun perusahaan lokal yang disiapkan memproduksi konverter yakni PT Dirgantara Indonesia (PTDI), PT Pindad, dan PT Wijaya Karya Tbk.
Pilih mitra lokal
Hidayat menerangkan, pemerintah memilih perusahaan Italia untuk bekerjasama mengingat negara tersebut dikenal sebagai produsen konverter terbesar di dunia. Bahkan, negara itu telah mengekspor konverter ke 60 negara. Sementara Korea Selatan juga dinilai berhasil memproduksi konverter yang digunakan oleh 34.000 kendaraan umum di Negeri Gingseng tersebut.
Sekadar catatan, kebijakan pemerintah membatasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) subsidi dengan menggenjot penggunaan BBG memang mau tak mau ikut mendongkrak kebutuhan konverter. Tahun ini saja, permintaan konverter diperkirakan mencapai 250.000 unit. Lantaran produsen konverter lokal masih terbatas, sebagian dari kebutuhan tersebut harus diimpor, diantaranya dari Italia dan Korea Selatan.
Tapi Hidayat menargetkan, dalam jangka waktu enam bulan setelah program konversi BBG berjalan, industri lokal sudah bisa berkontribusi besar untuk memenuhi kebutuhan konverter nasional. Bahkan menurutnya, Kemperin tengah menyiapkan pelatihan kompetensi bagi petugas yang akan melakukan pemasangan perangkat tersebut.
Namun tampaknya tak semua pelaku industri lokal senang akan kerjasama Kemperin dengan Landi dan Dymco ini. Dita Ardonni Jafri, Direktur Teknologi dan Pengembangan PTDI yang ikut dalam kunjungan bersama Kemperin ke kedua negara tersebut mengatakan, PTDI merasa belum perlu kerjasama teknologi dengan Landi dan Dymco. "PTDI tidak ikut dalam kerjasama itu," kata Dita.
Menurutnya, produksi tabung compressed natural gas (CNG) yang dilakukan oleh PTDI sudah setara dengan produksi Landi dan Dymco. Ia juga mengklaim kualitas konverter lainnya yang diproduksi PTDI juga tidak kalah dengan merek-merek lain yang sudah ada lebih dulu.
Dalam memproduksi konverter, PTDI sudah menjalin kerjasama dengan pemasok komponen yang berasal dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lain atau pihak swasta. Sebagai contoh, PTDI menggandeng PT Inti untuk memasok electronic control unit (ECU). Kerjasama dengan pemasok komponen merupakan bagian dari upaya PTDI untuk meningkatkan tingkat kandungan lokal konverter kit yang saat ini sudah lebih dari 50%.
Seperti diketahui, per 1 April 2012 mendatang, pemerintah akan memberlakukan pembatasan konsumsi BBM subsidi, demi menghemat subsidi BBM. Dalam APBN 2012 pemerintah telah mematok kuota BBM bersubsidi sebesar 40 juta kiloliter.
Program pembatasan ini akan dilakukan dengan mewajibkan semua kendaraan dinas instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD di Jawa dan Bali agar tidak menggunakan premium. Di samping itu, pemerintah juga akan membatasi penggunaan BBM subsidi oleh kendaraan pribadi dan angkutan umum, salah satunya dengan cara konversi BBG.
Bahan bakar CNG akan diperuntukkan untuk angkutan umum. Sedangkan bahan bakar LGV diperuntukkan untuk kendaraan pribadi. Meski kebijakan ini akan diterapkan sebentar lagi, namun infrastrukturnya masih jauh dari siap. Buktinya, jumlah stasiun pengisian BBG (SPBG) CNG saat ini cuma ada 9 stasiun di Jawa Bali. Sementara SPBG LGV baru tersedia 10 stasiun di Jakarta.
Kendala konversi BBG juga datang dari harga konverter yang terlalu mahal, yakni sekitar Rp 10 juta hingga Rp 15 juta per unit. Untuk mendorong penggunaan konverter, Kementerian ESDM sudah berencana membeli sebanyak 250.000 unit untuk di bagikan kepada kendaraan umum di Jakarta. Dengan asumsi harga konverter per unit Rp 15 juta, maka butuh dana sekitar Rp 3,7 triliun.
Saat ini, Kementerian Keuangan masih menunggu rencana detail dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) seputar pengadaan konverter pada tahap awal tersebut. Meski modal yang dibutuhkan untuk konversi BBG cukup mahal, tampaknya pemerintah kukuh melanjutkan kebijakan ini.
Pemerintah beralasan harga BBG yang lebih murah ketimbang harga BBM subsidi diyakini akan memikat masyarakat. Jika harga BBM subsidi Rp 4.500 per liter, maka harga BBG Rp Rp 4.100 per liter.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News