kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Praktisi hak kekayaan intelektual bicara soal pentingnya perlindungan merek terkenal


Kamis, 01 April 2021 / 14:03 WIB
Praktisi hak kekayaan intelektual bicara soal pentingnya perlindungan merek terkenal
ILUSTRASI. Produk perawatan kecantikan tubuh Dove dari Unilever UNVR. Praktisi hak kekayaan intelektual bicara soal pentingnya perlindungan merek terkenal.


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pemerintah Indonesia berkomitmen memberikan perlindungan hukum terhadap merek terkenal. Komitmen itu merupakan tanggapan pemerintah atas banyaknya sengketa merek yang khususnya melibatkan merek-merek terkenal yang sampai ke Pengadilan Niaga.

Komitmen pemerintah dalam melindungi merek terkenal telah diatur dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek  dan Indikasi Geografis (UU Merek).

“Dalam UU tersebut secara tegas menyebutkan bahwa suatu permohonan pendaftaran merek akan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; atau merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu. Ini adalah merupakan bukti bahwa rezim hukum merek di Indonesia melindungi merek terkenal,” ujar  Konsultan Komersialisasi Kekayaan Intelektual dan mantan Dirjen HKI, KemenKumHAM,  Andy N. Sommeng, dalam siaran pers, Kamis (1/4).

Selanjutnya, guna mendukung perlindungan atas merek terkenal, pemerintah juga telah membuat kriteria merek terkenal dengan menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek Terkenal (Permenkumham 67/2016) yang mengadopsi ketentuan internasional World Intellectual Property Organizations/ WIPO).

Baca Juga: Begini akhir kasasi sengketa merek Eiger...

Andy menjelaskan, berdasarkan Permenkumham 67/2016, kriteria merek terkenal itu antara lain dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan,volume penjualan barang dan atau jasa, pangsa pasar yang dikuasai, durasi penggunaan merek, pendaftaran merek di banyak negara serta keberhasilan penegakan hukum di bidang merek. 

“Kriteria itu menjadi pegangan pemeriksa merek dan aparat penegak hukum dalam menentukan apakah merek itu merek terkenal atau tidak terkenal,” papar Andy. Lebih lanjut Andy menegaskan alasan mengapa diperlukan perlindungan terhadap merek terkenal.  

Menurutnya, merek adalah asset intangible yang tidak ternilai harganya bagi suatu perusaahan. Merek merupakan cermin reputasi suatu barang yang diproduksi atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan. Maka, lanjutnya, reputasi atau citra sebuah merek akan mempengaruhi aktivitas pemasaran. Reputasi itu diyakini  oleh pemilik merek terkenal akan mampu mempengaruhi persepsi pelanggan tentang produk yang ditawarkan kepada konsumen.

Aspek persaingan curang 

Praktisi HK, Suyud Margono mengatakan, konsep perlindungan atas merek terkenal tidak seharusnya diterapkan untuk merek sekunder (secondary brand). Merek  sekunder ini biasanya dikenal juga sebagai nama varian (variant name) atau merek dagang yang merupakan suatu kalimat atau istilah yang deskriptif.

Menurut Suyud yang juga sebagai Ketua Umum AKHKI (Asosiasi Konsultan HKI Indonesia) “Istilah deskriptif itu kadanng hanya bertujuan untuk menjelaskan fungsi dari produk dan bukan merupakan elemen utama dari kesatuan merek tersebut, namun diajukan sebagai merek yang sesungguhnya merupakan extension dari brand yang sudah dikenal. 

Baca Juga: Merek Bensu jadi rebutan, ini kata Ditjen HKI

“Kalimat/istilah deskriptif mengandung kata-kata yang umum digunakan sehari-hari (generic words) oleh konsumen dan juga pelaku usaha,” Dia menjelaskan, klaim merek terkenal atas secondary brand yang bersifat deskriptif atau generic words berpotensi negatif dan  dapat menimbulkan dan persaingan curang (unfair business practices) antar sesama pelaku usaha (competitor bisnis). 

Sebab, pada praktiknya, pemilik merek lainnya akan terhambat dan kesulitan untuk memiliki ruang gerak dan kreatifitas apabila secondary brand/merek sekunder yang bersifat deskriptif atau generic words. 




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×