Reporter: Siti Masitoh | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebesar 8%, bahkan hingga 9% di masa pemerintahannya tidak mudah.
Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo, bahkan menyebut dibutuhkan anggaran belanja tambahan menjadi Rp 300 triliun, agar pertumbuhan ekonomi tahun pertama Prabowo menjabat bisa terkerek hingga 5,9%.
Capaian tersebut digadang-gadang akan menjadi modal untuk bisa mengerek pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun ke depan hingga mencapai 8%.
Sementara itu, anggaran belanja dalam APBN 2025 hanya ditargetkan sebesar Rp 3.613 triliun, dengan target pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 5,2%.
Baca Juga: Prabowo Fokus Kejar Pengemplang Pajak untuk Kerek Penerimaan, Begini Tanggapan Ekonom
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky menilai, menambah anggaran belanja belum tentu secara otomatis akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Berkaca pada pengelolaan fiskal era Presiden Joko Widodo, anggaran belanja terus meningkat setiap tahunnya. Nyatanya, pertumbuhan ekonomi hanya kisaran 5% saja, selain era pandemi Covid-19 pada 2020 dan 2021.
Pun dengan data perkembangan pertumbuhan ekonomi dan Produk Domestik Bruto (PDB), mengkonfirmasi bahwa pengeluaran konsumsi pemerintah tidak menyumbang secara berarti. Jauh di bawah konsumsi masyarakat, investasi dan bahkan hanya setara konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah tangga (LNPRT).
“Seharusnya yang ditelisik dan difokuskan adalah memperbaiki kualitas belanja agar bisa menyumbang lebih. Kualitas belanja itu mencakup jenis barang dan jasa yang dibeli pemerintah, proses waktu belanjanya, serta tingkat kebocoran atau korupsinya,” tutur Awalil kepada Kontan, Kamis (10/10).
Ia mencontohkan, apabila nilai belanja meningkat drastis, namun dialokasikan pada alutsista atau barang lainnya yang dibeli dari impor, maka nyaris tak mendorong pertumbuhan ekonomi.
Awalil menilai, yang seharusnya dilakukan pada tahun pertama Prabowo menjabat adalah dengan membenahi sistem belanja, serta memperbaiki efektifitas dan efisiensi belanja.
Disamping itu, kondisi perekonomian tahun depan juga tidak mudah, ditandai dengan merosotnya daya beli masyarakat, masyarakat kelas menengah turun, PHK massal terus terjadi, dan juga adanya pengurangan penghasilan para pekerja dan pengusaha.
Baca Juga: Ambisi Prabowo: Bangun 30 Juta Rumah Dalam Dua Periode Kepemimpinan
Kondisi tersebut, kata Awalil, akan menyulitkan pemerintah untuk mengejar penerimaan tambahan.
“Pemerintah harus berhati-hati untuk upaya meningkatkan pendapatan, terutama dalam hal perpajakan. Jika dipaksakan atau dilakukan terlebih dahulu sebelum perekonomian membaik, maka bisa menjadi boomerang,” ungkapnya.
Ia khawatir, jika tidak dilandasi kehati-hatian, maka pendapatan negara tahun berikutnya atau pada 2026 akan merosot. Sehingga perlu ada perencanaan yang matang untuk mengejar pendapatan negara dalam jangka menengah, khususnya bidang perpajakan.
Bahkan, Awalil menyarankan agar anggaran belanja tahun depan justru dikurangi menjadi Rp 3.200 triliun saja, dari anggaran belanja negara dalam APBN 2025 sebesar Rp 3.625 triliun. caranya dengan mengurangi belanja yang belum prioritas dan bisa ditunda.
“Dengan demikian, pendapatan negara tidak dipaksa untuk segera meningkat pesat pada tahun 2025, dan defisit bisa ditekan hanya kisaran Rp 200 triliun atau kurang dari 1% PDB,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News