Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Anna Suci Perwitasari
Ajib mencontohkan, sewa apartemen, gedung perkantoran, virtual office, yang menjadi objek PPh 4 ayat (2) bukan hanya atas nilai sewanya, melainkan juga tambahan biaya penyertaannya seperti IPL, biaya layanan, dan tambahan fasilitas lainnya. Semua harus dipotong 10% secara final.
Padahal ada regulasi lain yang mengatur bahwa segala bentuk biaya pemeliharaan, layanan, fasilitas, merupakan jasa yang terutang PPh Pasal 23, tarifnya 2%, tidak final, bisa jadi kredit pajak.
Nah, dalam kondisi tersebut, tidak dipungkiri ada pengusaha yang menyiasati memisahkan biaya-biaya tersebut dengan memisahkan penagihannya, yang sewa dipotong 10% final dan yang layanan lainnya 2% tidak final. Meskipun Kantor Pelayanan Pajak (KPP), meminta perbaikan laporan dan menyetorkan kekurangan pajaknya, karena seharusnya dipotong 10% semuanya.
“Ini tentunya memberatkan dan membingungkan bagi WP, ada regulasi yang satu mengatur a, lainnya mengatur b. Padahal objeknya sama. Jadi perlu dipertegas lagi aturannya,” ujar dia.
Baca Juga: PPh final atas sewa tanah dan bangunan dirombak, apa respons pengusaha?
Sementara itu, soal tarif 10% final, dirasa Ajib sebenarnya cukup sederhana dan memudahkan wajib pajak tak perlu repot-repot lagi di akhir tahun karena tak ada lagi pajak yang harus dibayar. Namun di masa pandemi seperti ini, pengenaan 10% sebenarnya cukup memberatkan.
“Sehingga saya sepakat jika pemerintah mengkaji untuk menurunkan besaran tarifnya,” kata Ajib.
Dia menambahkan, kalau DJP mau mengubah konsepnya menjadi tidak final, maka tarifnya seharusnya bisa turun jauh dari yang sekarang berlaku. Sedangkan untuk wacana pembedaan tarif untuk WP OP dan Badan, ini dulu pernah diadopsi sebelumnya oleh DJP.
“Sepanjang regulasinya jelas, saya rasa itu tidaklah menjadi persoalan signifikan,” pungkas Ajib.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News