kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45892,58   -2,96   -0.33%
  • EMAS1.324.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

PPATK sebut korupsi dan narkotika berisiko tinggi terhadap TPPU


Kamis, 19 Agustus 2021 / 16:25 WIB
PPATK sebut korupsi dan narkotika berisiko tinggi terhadap TPPU
ILUSTRASI. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae. PPATK sebut korupsi dan narkotika berisiko tinggi terhadap TPPU.


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Kepala PPATK Dian Ediana Rae mengatakan, PPATK bersama stakeholders rezim APU-PPT melaksanakan Penilaian Risiko Indonesia terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang dalam bentuk Kegiatan National Risk Assessment on Money Laundering and Terrorist Financing/Proliferation Financing (NRA on ML/TF/PF) Tahun 2021.

Penyusunan dokumen pemutakhiran NRA on ML Tahun 2021 ini karena merupakan hal yang sangat penting bagi seluruh stakeholders rezim Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT).

Hal ini dalam rangka mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi berbagai risiko pencucian uang, pendanaan terorisme, serta pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal dalam lingkup risiko domestik dan luar negeri (inward risk dan outward risk).

“Jika kita melihat dari hasil NRA TPPU Indonesia Tahun 2021, korupsi dan narkotika merupakan jenis tindak pidana asal TPPU yang berkategori risiko tinggi secara domestik,” ujar Dian dalam peluncuran NRA TPPU/TPPT/PPSPM 2021, Kamis (19/8). 

Baca Juga: KPK resmi tahan eks pejabat Ditjen Pajak Angin Prayitno Aji

Beberapa contoh kasus TPPU hasil korupsi yang telah melibatkan sejumlah kepala daerah dan berafiliasi dengan partai politik. Seperti kasus Zainudin Hasan Bupati Lampung Selatan senilai Rp 54,4 Miliar, kasus TPPU hasil Korupsi Sektor Sumber Daya Alam yang berakibat kerugian negara sebesar Rp 37,8 triliun, kasus Korupsi Pengelolaan Keuangan Dana Investasi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 16,81 Triliun.

Dian menerangkan, korupsi dan narkotika merupakan jenis tindak pidana asal yang berkategori ancaman tinggi TPPU ke luar negeri (outward risk). Pengungkapan Kasus TPPU hasil Narkotika, seperti jaringan Fredy Budiman dengan data transaksi semua pihak terkait terperiksa sebesar Rp 6,4 triliun, kasus FY sebesar Rp 27 triliun, dan Lisan Bahar sebesar Rp 181 triliun yang merupakan Jaringan Narkotika Internasional.

Serta pengungkapan kasus TPPU hasil Korupsi Transnasional seperti Kasus Korupsi Garuda sebesar Rp 87,46 miliar, Kasus Bendahara Partai sebesar Rp 627, 86 miliar, Kasus Kepala Daerah terkait Suap Korupsi Sektor Sumber Daya Alam sebesar Rp 40,26 miliar, Kasus Korupsi Proyek Pengadaan E-KTP senilai Rp 5,9 triliun. 

“Penipuan, Korupsi, Transfer Dana, Narkotika, Informasi Transaksi Elektronik (ITE) atau SIBER merupakan jenis tindak pidana asal TPPU yang berkategori ancaman tinggi TPPU ke Indonesia (Inward Risk),” ujar Dian. 

Baca Juga: Cegah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Fintech Secara Berkala Mengawasi Transaksi

Akhir-akhir ini, ujar Dian, Indonesia seringkali menjadi negara tujuan pengalihan transfer dana dalam kasus penipuan transaksi bisnis atau Business Email Comproise (BEC) oleh sindikat jaringan internasional. Diantaranya Kasus atas Pembelian Peralatan Covid-19 dari Italia sebesar Rp 56 Miliar, dari Belanda sebesar Rp 27 Miliar, dari Athena Yunani sebesar Rp 111 Miliar, dari Argentina sebesar Rp 40 Miliar.  

Ditinjau berdasarkan aspek hasil kejahatan yang diperoleh dari tindak pidana asal, diketahui selama periode 2016-2020 terdapat 336 putusan perkara pencucian uang yang telah berkekuatan hukum tetap dan telah teridentifikasi dalam kajian NRA 2021 ini menunjukan bahwa estimasi akumulasi nilai hasil kejahatan mencapai sebesar Rp44,2 Triliun. 

Dari jumlah tersebut nilai kejahatan terbesar pada tindak pidana narkotika sebesar Rp 21,5 Triliun (48,67%), tindak pidana penipuan sebesar Rp 14,2 Triliun (32,08%), tindak pidana korupsi sebesar Rp 5,05 Triliun (11,4%), tindak pidana penggelapan (2,94%), tindak pidana di bidang perbankan (1,36%), tindak pidana transfer dana (1,07%), tindak pidana di bidang perpajakan (1,05%).

“Kondisi tersebut tentunya dapat merusak integritas sistem keuangan dan perekonomian nasional,” pungkas Dian. 

Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) Mahfud MD mengatakan, pengkinian NRA tahun ini sebagai bentuk konkret terhadap implementasi Rekomendasi Nomor 1 Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) dan merespons catatan evaluasi dalam Mutual Evaluation Review (MER) Asia Pacific Group on Money Laundering (APG) Tahun 2018. 

“Peluncuran NRA tahun 2021 bukan hanya sekedar memenuhi rekomendasi namun juga merupakan kebutuhan domestik dalam penentuan arah dan kebijakan nasional,” ujar Mahfud. 

Baca Juga: Kata PPATK terkait pinjol, fintech dan urun dana wajib lapor transaksi mencurigakan

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini mengatakan pengkinian NRA merupakan bentuk adaptif Indonesia dalam merespons dinamika situasi dan kondisi risiko saat ini, terutama di masa pandemi.

“Dengan berkembangnya teknologi dan kompleksnya modus pelaku kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) yang tidak dapat diprediksi, memberikan peluang ancaman baru yang harus kita mitigasi dan antisipasi secara cepat dan tepat, salah satunya dengan melihat apa yang tertuang dalam Naskah NRA tahun ini,” jelas Mahfud. 

Selanjutnya: Buntut sumbangan Rp 2 triliun, Mabes Polri bentuk tim periksa Kapolda Sumsel

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Accounting Mischief Practical Business Acumen

[X]
×