kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.924.000   -16.000   -0,82%
  • USD/IDR 16.328   3,00   0,02%
  • IDX 7.072   27,12   0,39%
  • KOMPAS100 1.029   6,96   0,68%
  • LQ45 798   3,19   0,40%
  • ISSI 226   2,00   0,89%
  • IDX30 417   1,68   0,40%
  • IDXHIDIV20 492   0,44   0,09%
  • IDX80 116   0,76   0,66%
  • IDXV30 119   0,89   0,75%
  • IDXQ30 135   -0,28   -0,21%

PMI Manufaktur Mei 2025 Masih Kontraksi, Daya Beli Lesu?


Senin, 02 Juni 2025 / 17:55 WIB
PMI Manufaktur Mei 2025 Masih Kontraksi, Daya Beli Lesu?
ILUSTRASI. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/24/04/2024. Sektor manufaktur Indonesia kembali mencatatkan kontraksi pada Mei 2025 dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) di level 47,4


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Sektor manufaktur Indonesia kembali mencatatkan kontraksi pada Mei 2025 dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) di level 47,4, meskipun sedikit membaik dibandingkan posisi April 2025. 

Angka ini menandakan bahwa aktivitas manufaktur belum kembali ke zona ekspansi, dan pelaku industri masih dibayangi berbagai tantangan baik dari dalam maupun luar negeri.

Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Chandra Wahjudi menyebutkan bahwa ketidakpastian pasar global turut mendorong kenaikan harga bahan baku, membuat produsen lebih berhati-hati dalam meningkatkan produksi.

“Permintaan pasar yang belum kuat menjadi pertimbangan produsen mengurangi produksi agar tidak terjadi penumpukan inventori,” ujar Chandra kepada KONTAN, Senin (2/6).

Baca Juga: PMI Manufaktur Indonesia di Mei 2025 Terkontraksi ke Level 47,4

Ia juga menambahkan bahwa banyaknya hari libur nasional dan cuti bersama pada bulan Mei turut berdampak terhadap aktivitas produksi dan pengiriman barang.

Namun, menurut ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, angka PMI 47,4 bukanlah sinyal pemulihan, melainkan cerminan stagnasi struktural yang berkelanjutan.

“Pemerintah perlu membaca sinyal ini secara serius, bukan sekadar sebagai tren jangka pendek yang membaik,” tegas Syafruddin. 

Ia menekankan bahwa tanpa terobosan kebijakan fiskal dan reformasi struktural yang agresif, terutama dalam mengatasi biaya logistik, ketergantungan impor bahan baku, dan kurangnya diversifikasi industri akan membuat sektor manufaktur terus tertinggal.

Lebih lanjut, Syafruddin menilai bahwa hari libur panjang hanya menjadi faktor pendukung dari kontraksi ini, bukan penyebab utama. 

Menurutnya, masalah utama terletak pada lemahnya permintaan baik dari pasar domestik maupun ekspor, tingginya biaya produksi, serta belum optimalnya kebijakan stimulus industri.

"Selama akar masalah seperti rendahnya daya beli masyarakat, inefisiensi logistik, dan ketidakpastian pasar ekspor tidak diselesaikan secara sistemik, maka sektor manufaktur Indonesia akan terus berada dalam fase kontraksi dan sulit menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan," katanya.

Dengan kondisi ini, pelaku industri dan pengamat ekonomi mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah konkret agar sektor manufaktur dapat pulih secara inklusif dan menjadi pilar utama pertumbuhan jangka panjang Indonesia.

Baca Juga: PMI Manufaktur Anjlok, Ancaman PHK Massal Meningkat

Selanjutnya: Pembiayaan Buy Now Pay Later (BNPL) Tumbuh 47,11% per April 2025

Menarik Dibaca: Biar Makin Dekat, Coba 3 Kegiatan Seru Ini Bareng Anak Perempuan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×