kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Petani Sawit Sulit Jual TBS, Pemerintah Akan Kembangkan Minyak Makan Merah


Senin, 18 Juli 2022 / 14:57 WIB
Petani Sawit Sulit Jual TBS, Pemerintah Akan Kembangkan Minyak Makan Merah
ILUSTRASI. Sejumlah truk pengangkut Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit. Pemerintah akan kembangkan minyak makan merah untuk membantu petani sawit agar tak kesulitan menjual tandan buah segar (TBS).


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana mengembangkan minyak makan merah atau red palm oil (RPO) dan pembangunan pabrik Crude Palm Oil (CPO) mini. Upaya ini dilakukan sebagai bentuk hilirisasi sawit dan membantu petani agar tak kesulitan menjual tandan buah segar (TBS) mereka.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyebut, langkah ini dapat menjadi solusi untuk menstabilkan harga TBS di tingkat petani. Selain itu, pengembangan minyak makan merah dan pembangunan pabrik CPO mini dapat membantu pemerataan distribusi minyak goreng.

"Justru itu ini solusi, saya kira arahan Presiden ini solusi bagi petani yang selama ini harga TBS kan tidak stabil, juga solusi untuk distribusi suplai minyak goreng yang jauh lebih merata karena sekarang ini pabrik minyak goreng-kan di Jawa kebanyakan," kata Teten kepada wartawan di kompleks Istana Negara, Senin (18/7).

Teten menceritakan, selama ini para petani sawit bergantung pada industri untuk menjual TBS mereka. Sedangkan, mayoritas pabrik minyak goreng berlokasi di Pulau Jawa. Maka, kondisi saat ini Petani terkadang kesulitan menjual TBS.

Baca Juga: Tangki Sawit Milik Pengusaha Masih Penuh Imbas Larangan Ekspor CPO Sebelumnya

Kemudian apabila petani ingin mengolahnya sendiri, mereka tidak memiliki kemampuan teknologi pengolahan sawit menjadi CPO dan RPO. Atas hal tersebut, Teten menyebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyetujui adanya pembangunan pabrik minyak makan merah berbasis koperasi.

"Pak Presiden tadi sudah menyetujui untuk pembangunan minyak makan merah berbasis koperasi. Ini saya kira akan menjadi solusi," kata Teten.

Diketahui 35% produksi sawit atau CPO, berasal dari petani mandiri atau swadaya dengan luas lahan 41% dari luas lahan sawit di Indonesia. Maka Teten memastikan suplai minyak makan dapat terpenuhi dengan program ini.

Ia juga menyebut, minyak makan merah memiliki kandungan protein dan vitamin A yang lebih tinggi dari minyak goreng pada umumnya. Di Malaysia produksi minyak makan merah bahkan sudah diekspor ke China.

Dengan adanya pengembangan ini, Teten mengatakan, masyarakat memiliki dua pilihan minyak goreng, yakni minyak goreng bening, ada minyak makan merah yang diproduksi oleh koperasi.

"Presiden ingin ada piloting dulu karena market minyak makan merah ini masih belum terbentuk, karena sudah terlanjur minyak goreng yang bening ya. Padahal yang merah itu justru jauh lebih sehat dan di sini juga bisa dipakai untuk program stunting," imbuhnya.

Pilot project rencana akan dilakukan di Sumatra dan Kalimantan. Teten mengusulkan pembangunan pabrik minyak makan merah dapat dimulai Januari mendatang. Sekarang mesin produksinya yang ada di pusat penelitian kelapa sawit (PPKS) baru tahap prototipe.

Teten menargetkan detailed engineering design (DED) dari mesin PPKS paling lambat bulan Agustus masuk ke tahap produksi. Nantinya untuk produksi mesin dapat dilakukan BUMN atau swasta.

Untuk bangun satu pabrik CPO mini dan RPO diperkirakan memakan dana Rp 23 miliar dengan return on investment 4,3 tahun, untuk produksi 10 ton minyak makan per hari.

Tak hanya lebih sehat, Teten mengatakan, harga dari minyak makan merah juga akan lebih murah ketimbang minyak goreng biasa. Pasalnya dari segi proses produksi lebih sederhana demikian juga dengan ongkos produksi.

"Target kita memproduksi 10 ton perhari itu butuh sawitnya sekitar 50 ton perhari atau 1.000 hektar. Jadi setiap 1.000 hektar itu akan ada ini, pabrik ini," kata Teten.

Teten menegaskan, upaya ini juga menjadi optimalisasi hilirisasi sawit rakyat. Sebab, masalah yang kerap dihadapi petani ialah harga TBS yang tidak stabil, atau terlambatnya penyerapan TBS petani.

Padahal kalau terlambat diserap, TBS akan susut 20% dalam semalam.

"Jadi Petani dirugikan. Kalau sekarang petani mengolahnya sendiri dengan punya pabrik pengolahan CPO dan RPO-nya, saya kira nilai tukar petani akan baik, kesejahteraan petani akan lebih baik," imbuh Teten.

Baca Juga: Apkasindo: Anjloknya Harga TBS Tidak Hanya Disebabkan Oleh Pajak Ekspor CPO Saja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×