kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Apkasindo: Anjloknya Harga TBS Tidak Hanya Disebabkan Oleh Pajak Ekspor CPO Saja


Senin, 18 Juli 2022 / 08:58 WIB
Apkasindo: Anjloknya Harga TBS Tidak Hanya Disebabkan Oleh Pajak Ekspor CPO Saja
ILUSTRASI. Apkasindo sebut PE Bukan Satu-satunya Penyebab Anjloknya Harga TBS. ANTARA FOTO/Jojon/ama.


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyatakan apresiasinya terhadap kebijakan penghapusan pungutan ekspor (PE) minyak kelapa sawit mentah alias crude palm oil (CPO) beserta produk turunannya hingga 31 Agustus mendatang.

Adanya kebijakan tersebut salah satunya diharapkan mampu mendongkrak harga tandan buah segar (TBS) sawit. Namun, Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat Manurung mengatakan, bahwa anjloknya harga TBS bukan semata-mata karena pungutan ekspor saja.

"Anjloknya harga TBS petani tidak semata tunggal karena PE, ada beberapa faktor lagi yang justru lebih menekan, terutama patokan harga CPO Indonesia," kata Gulat, Minggu (17/7).

Baca Juga: Petani Sawit Kirim Surat Terbuka kepada Jokowi, Minta Cabut DMO hingga PE

Ia menjelaskan, terdapat tiga rujukan harga CPO di Indonesia. Pertama harga referensi Kementerian Perdagangan, kedua harga Roterdam dan ketiga adalah harga tender KPBN.

Sebagai negara hukum dan negara terbesar penghasil CPO maka Gulat menilai semuanya harus patuh kepada Permendag yang sudah menghasilkan harga referensi. Dimana harga referensi Permendag tersebut sudah cukup adil, karena sudah mengakomodir 20% harga dari Roterdam, 20% harga Malaysia dan 60% harga Bursa Indonesia.

"Jadi cukup mewakili. Oleh karena itu kami Petani sawit berharap Pak Presiden untuk menegaskan harga patokan CPO Indonesia adalah harga Kemendag, supaya semua berbenah. Namun penetapan harga referensi Kemendag tersebut kedepannya idealnya 1 kali per 2 minggu bukan 1 kali sebulan," imbuhnya.

Gulat mengatakan, sampai sekarang terjadi ironi dimana Indonesia tidak dijadikan sebagai rujukan harga CPO dunia, padahal lebih dari 50% produksi CPO dunia itu berasal dari Indonesia.

"Harga Patokan Ekspor (HPE) itu seharusnya tidak perlu mengacu pada harga KLCE (Kuala Lumpur Commodity Exchange) dan Rotterdam, seharusnya berpatokan kepada harga Referensi Kementerian Perdagangan (Permendag 55/2015) yang terbit sekali sebulan atau minimum berpatokan ke IDX Indonesia (bursa Indonesia), yang menjadi Price Setter bagi Sawit Indonesia dan dunia harus melirik harga ini. Bukan sebaliknya kita bergantung kepada harga KLCE dan Roterdam," tegasnya.

Selanjutnya perlu ada evaluasi regulasi untuk menuju datu rujukan harga. Rujukan tersebut adalah Harga Referensi Kementerian Perdagangan. Ia menilai, rujukan ini akan menyelamatkan 17 juta petani sawit dan pekerja sawit karena dengan adanya kepastian rujukan.

"Maka perusahaan kelapa sawit (PKS) tidak semena-mena lagi membeli TBS kami petani dan PKS yang tanpa industri hilir mendapat kepastian harga jual CPO-nya ke Refinary," paparnya.

Baca Juga: Ini Alasan Pungutan Ekspor CPO Dihapus Sementara Hingga Akhir Agustus 2022

Apkasindo juga mengkritisi bahwa, pembebasan PE tak dilakukan pada semua turunan produk CPO. Seperti ekspor cangkang dan bungkil, Ia menilai tidak perlu dibebaskan PE, agar Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPD-PKS) masih tetap menghimpun dana dari ekspor sawit. Pasalnya ekspor bungkil dan cangkang tidak termasuk pengurang harga TBS di Petani.

Ke depannya untuk industri sawit Indonesia, Apkasindo menyebut ada beberapa pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Pertama, adanya sistem satu data perkebunan sawit Indonesia. Yakni berisi data luas dan produksi sawit Indonesia, yang akan mempermudah monitor neraca CPO.

Kedua, meningkatkan konsumsi (prosesing) dalam negeri. Saat ini hanya 35% produksi CPO Indonesia terserap dalam negeri, 65% yang terdiri dari berbagai produk sawit di ekspor. Untuk mencapai ini maka diperlukan insentif khusus, agar investor agri industri sawit tertarik ke Indonesia.

"Dengan role model seperti ini maka Pemerintah tidak lagi perlu BK dan PE terlampau besar dari ekspor sawit, karena Pemerintah akan dapat Corporate Tax yang tinggi dengan perubahan pasar ini, ketersediaan lapangan kerja meningkat, semua sistem akan berputar," paparnya.

Ketiga, perlunya dukungan pendirian pabrik-pabrik CPO dan minyak goreng sawit yang dikelola oleh UKM atau Koperasi. Keempat, peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat melalui replanting (intensifikasi), dengan demikian tidak perlu lagi ekstensifikasi.

Baca Juga: Kemenkeu Hapus Pungutan Ekspor CPO, Pengusaha Minta Ada Kepastian Izin Ekspor

Kelima, perlu membentuk Badan Sawit Indonesia (BADASI) yang langsung di bawah Presiden. Badan ini akan bertugas mengatur semua hal terkait sawit termasuk kondisi hulu hingga hilir. Kemudian Gulat menyebut, perusahaan kelapa sawit juga diwajibkan untuk terdaftar sebagai anggota GAPKI, begitu juga dengan petani sawit melalui asosiasi yang dimonitor langsung oleh pemerintah.

"Kalau sudah seperti ini maka baik GAPKI maupun Petani sawit (melalui asosiasinya) harus didorong sebagai garda terdepan mitra kebijakan Pemerintah (BADASI), sehingga apapun keputusan regulasi pemerintah sudah mewakili tiga kepentingan (Korporasi, Petani dan Pemerintah) dan tentunya otoritas final-nya ada di pemerintah," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×